Wartawan Senior

Kamis, 28 Januari 2021 | 10:46 am | 106 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

Soebagijo lahir pada 5 Juli 1924. Soebagijo mulanya bekerja jadi reporter di kantor berita Antara di Yogyakarta saat zaman revolusi. Jagatnya yang terakhir tersebut rupanya menjadi jagat yang seterusnya dihidupi dan menghidupi dirinya beserta keluarga selama dua pertiga usianya.

Kini dalam usia 77 tahun, Soebagijo hidup bersama Siti Supiah, perempuan yang memberinya enam anak. Rumah mereka terletak di Jalan Danau Tondano RP-1 di daerah Pejompongan, Jakarta. Rumah yang tak begitu besar namun berhalaman luas dan selalu bersih. Soebagijo secara rutin menyapu halaman rumahnya, setiap istirahat siang, yang dimulai pada pukul 13.00 sampai 16.00.

Di kalangan wartawan senior, Soebagijo dikenal sebagai tukang catat sejarah jurnalisme Indonesia. Lebih dari 3,000 buku ada di rumahnya, berjajar dalam berbagai rak, belum termasuk tiga peti besar yang sedang dimakan rayap. Salah satu koleksi buku tuanya adalah kamus Jawa-Belanda beraksara Jawa dan Latin yang dicetak pada 1875. Sayang kamus ini termasuk yang ada dalam peti.

Ia sedih, namun dalam tetap bersyukur atas apa saja yang dimiliki atau telah dialaminya. Materi memang tak berlimpah, namun semua anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi mereka. Dia juga sudah menunaikan ibadah haji, berkeliling ke lima benua. “Dia orang sholeh yang sumeleh (ikhlas menerima),” kata Jakob Oetama dari harian Kompas tentang Soebagijo suatu ketika.

“Saya tidak puasa Senin-Kamis sejak Mbok Ratu melarang,” kata Soebagijo. “Mbok Ratu” adalah panggilan Soebagijo terhadap istrinya. Ini harus dilakukan Soebagijo sejak dia mengidap vertigo dan pengeroposan tulang. Puasa dilakukan hanya pada bulan Ramadhan.

Secara tidak tentu, Soebagijo masih melayani wawancara untuk media atau penelitian. Sesekali masih menulis. Tapi paling sering dia melakukan korespondensi dengan sahabat-sahabatnya baik yang di luar negeri atau para teman yang dulu sama-sama jadi murid Sekolah Guru Laki-laki di Blitar.

“Kemarin saya mendaftar dengan Mbok Ratu untuk ikut reuni SGL tapi saya batalkan. Situasinya sedang tidak jelas,” kata Soebagijo. Rumahnya hanya berjarak satu kilometer dari gedung parlemen, namun dia hanya mengikuti riuh rendah politik di tempat tersebut melalui televisi dan koran.

MOHAMAD Jusuf Ronodipuro kini berusia 82 tahun. Tapi dia seperti tak bisa duduk diam. Dia seolah masih mau membuktikan dirinya masih mematri semboyan “Sekali di udara tetap di udara!” –semboyan yang dulu sering dia pekikkan di depan corong Radio Republik Indonesia. Ronodipuro memang salah satu pendiri RRI zaman revolusi. Antara 1947 sampai 1956 dia giat di bidang penyiaran radio dan terakhir bertugas sebagai kepala RRI Jakarta.



Beberapa orang mengatakan bahwa dia adalah sumber inspirasi terciptanya lagu Berkibarlah Benderaku. Itu terjadi pada malam 21 Juli 1945 ketika Ronodipuro menolak perintah serdadu Belanda di bawah ancaman senjata. “Kalau memang bendera harus turun, maka dia akan turun bersama bangkai saya!” katanya tak kalah mengancam.
 

Related Post