‘Pelacur Intelektual’ dan ‘Anjing Penjilat’

Rabu, 6 Maret 2019 | 6:39 am | 298 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     
 

Oleh: Muhammad Saad

 

SANGAT menarik ketika membaca buku  Qosim Nurseha Dzulhadi “Membongkar Kedok Liberalisme Di Indonesia. Dalam sub bab buku tersebut yang berjudul “Bal’am Kontemporer Prototype Penghancuran Islam“,  dijelaskan bahwa seorang ‘Pelacur Intelektual’ yaitu orang-orang yang diberi ilmu agama  namun disalahgunakan ilmu tersebut demi kepentingan pribadi. Maka orang demikian diibaratkan seperti “anjing”.

Permisalan “anjing” kepada pelacur intelektual tidak sekonyong-konyong dari pemikiran gegabah sang penulis, namun beliau merujuk dalam QS  al-A’raf : 175-176;

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) سَاءَ مَثَلا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ (177)

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.” [QS  al-A’raf : 175-176].

Sifat anjing adalah penjilat, dia rela berkorban apapun meskipun nyawa menjadi taruhanya kepada sang majikan demi seonggok daging. Dia akan setia kepada majikan selama dia mendapatkan “jatah”. Namun loyalitas itu bisa berubah sewaktu-waktu, jika “jatah” sudah tidak lagi bicara.

Begitu pula para pelacur intelektual, mereka tidak berbeda dengan “anjing-anjing penjilat”.  Mereka hafal berbagai dalil, sampai-sampai ketika menyampaikan orasi atau debat, mulutnya berbusa. Namun sayangnya apa yang mereka sampaikan bukan untuk mengekkan kebenaran agama, namun hanya kepentingan segelintir orang dan ironisnya lagi kepentingan itu adalah merusak kebenaran agama.

Sebelum ini ada pernyataan tokoh yang mengatakan, “Menonton YouTube tentang pornografi lebih ringan daripada terorisme. Terorisme itu lebih bahaya daripada gambar perempuan telanjang”.

Lalu sang tokoh bercanda dan mengatakan, “Karena ketika nonton video porno sambil beristighfar.” Adalah contoh “gonggongan” yang tidak layak dari orang yang disebut intelektual.

Coba bayangkan jika ucapan ini “dikonsumsi” oleh orang awam. Maka antusias masyarakat terhadap porno akan meningkat signifikan. Dan yang paling ironis adalah, mereka menikmati tontonan tersebut dengan tanpa beban dosa, sebab ada seorang tokoh yanng diulama’kan siap  yang meringankan dosa mereka tersebab fatwa tersebut sebut.

Padahal pada hakikatnya, dosa kecil jika diremehkan akan menjadi dosa besar. Hal ini sebagaimana penjelasan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin:

“Di antara sebab dosa kecil menjadi besar adalah seorang hamba menganggap remeh dosa tersebut dan tidak bersedih karena dosa (yang pernah dia lakukan).” (Al-Arba’in fii Ushuulid Diin, hal. 226)

Lebih jelasnya Imam Al-Ghazali  mengatakan, ”Sesungguhnya dosa, selama seorang hamba menganggap perbuatan dosa tersebut sebagai sesuatu yang besar dari dalam dirinya, maka dosa tersebut akan menjadi kecil di sisi Allah Ta’ala. Ketika dia menganggap dosa tersebut sebagai perbuatan yang besar, hal itu berasal dari larinya hatinya dari dosa tersebut dan kebencian hatinya terhadap dosa. Semua itu menyebabkan tercegahnya seorang hamba dari konsekuensi perbuatan dosa. Adapun ketika dia menganggap remeh perbuatan dosa, hal itu bersumber dari kegemarannya berbuat dosa. Sehingga menimbulkan pengaruh yang sangat kuat di dalam hati.” (Ihya’ ‘Ulumuddin, 4/32).

Paham pluralisme agama bahkan sudah jelas haram dan berbahaya bagi aqidah. Namun dimulut para ‘pelacur intelektual, paham pluralisme agama menjadi sah dan halal untuk “dikonsumsi” umat.

Jika diteliti, pluralisme agama tidak memiliki pijakan dasar dalam Islam. Islam adalah agama inklusif (Innaddina inddallah Al-Islam). Sejarah membuktikan melalui Surat ajakan Rasullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam masuk Islam kepada Heraclius (Kaisar Romawi), Raja Negus (penguasa  Ethiopia), dan Khusrau (penguasa Persia). Rasullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallamtahu resiko yang akan diterima jika beliau menyampaikan surat tersebut. Namun beliau (Rasulullah) tetap mengutus delegasi untuk menyampaikan risalah tersebut. Ini  adalah bukti bahwa Islam Agama yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam adalah agama paling benar dan inklusif.

Lalu jika demikian, kenapa ada orang-orang yang berilmu, mengklaim dirinya Pewaris Nabi, namun kemudian mengajarkan semua agama adalah benar? Tidak heran, sebab semua ini adalah “pesanan”. Semua tahu pluralisme adalah lahir dari Barat, pluralisme bagian dari peradaban Barat. Sedangkan hari ini Barat menguasai peradaban dunia. Karena Barat takut peradabannya dijatuhkan, maka dia menacpkan hegemoninya. Salah satunya ialah memaksakan negara lain menikmati ideologi mereka. Caranya ialah dengan membeli orang-orang dalam yang pintar, kemudian dijadikan agen untuk menyampaikan ideologinya.

Jadi, pernyataan seorang intelektual bahwa pluralisme adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima adalah tidak lain “gonggongan anjing penjilat” pesanan dari “Sang Majikan“.

Wal iyyadzu Billah. Semoga kita dilindungi dan dijauhkan oleh Allah dari orang yang demikian. Sebab, prototype demikian (masih mengutip buku Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia)  dikatakan oleh Sayyidina Umar sebagai manusia munafiq. Sedangkan orang munafiq tempatnya adalah kerak Neraka (fiddarki al-asfal min Nar). Wallahu al-Musta’an.*

Penulis adalah Alumni PP. Aqdamul Ulama’ Pasuruan, Mahasiswa Tingkat Akhir Sekolah Tinggi Uluwiyyah Mojokerto

Hidayatullah.com

BACA JUGA :

Related Post