HUJAN bulan Maret mengguyur Kaliwungu. Deras. Dengan bus Semarang-Sukorejo, saya turun di Masjid Agung Kaliwungu. Dan hujan tak peduli, membasahi tubuh meski tertutup jaket. Saya hendak berkunjung ke markas Kelompok Kartunis Kaliwungu (Kokkang).
Hujan bulan Maret menenggelamkan sebagian Jalan Boja, Kaliwungu, jalan menuju markas Kokkang yang terletak sekitar 500 meter dari pusat kota. Dengan becak, genangan air terbelah, tak mampu menahan laju roda. Beberapa mobil tampak mogok di tengah kenangan air.
Markas Kokkang yang berada di dusun Dampetsari, desa Krajan Kulon, Kaliwungu ini mudah dikenali. Bertingkat dua, terbuat dari bambu, menyatu dengan rumah kecil sederhana. Di samping jalan, di depan sebuah sungai yang dipagari tanah merah yang becek, markas Kokkang tampak rapuh. Dindingnya tripleks bercat pink.
Saya bergegas masuk ke sisi ruang yang digunakan sebagai pusat aktivitas kartunis Kokkang. Di dalamnya ada dua lemari besar berisi buku, katalog-katalog dan penghargaan-penghargaan kartun berjejer rapi. Ada lemari arsip kecil, dan lemari sedang yang digunakan untuk menaruh komputer. Pesawat telepon, buku telepon, buku honor masuk dan kas Kokkang, serta kertas dan koran yang tertata rapi menghiasi meja bercat coklat. Beberapa lukisan tergantung di dinding.
Saya duduk di kursi sofa. Satu-dua air hujan menerobos masuk, dan jatuh menimpa sebuah baskom plastik yang sengaja diletakkan di dekat meja. Saya melongok ke atas. Ada sebuah ruangan berukuran 2,5 x 2,5 meter yang terbuat dari bambu dan beratap seng. Tapi tak ada tangga menuju ke atas –ternyata ruangan itu tak lagi dipakai sebagai sanggar karena lapuk.
Saya masih menunggu pemilik rumah, sambil berpikir seolah tak percaya bahwa dari rumah sederhana ini lahir banyak kartunis yang mewarnai dunia.
Tak lama, deru sepeda motor terdengar lirih. Pengendaranya turun, bergegas masuk rumah, dan menuju ruang sekretariat. “Maaf berantakan. Saya sedang merehab total rumah ini,” kata Budi Santoso, yang akrab dipanggil Itos, pemilik rumah, sambil menyalami.
Ia kemudian masuk kembali, dan tak lama kemudian keluar dengan kaos hitam lengan panjang dan sarung kotak-kotak. Laki-laki inilah yang bersama Darminto Masiyo Sudarmo, atau biasa dipanggil Odios, serta Nurrochim, yang mendirikan Kokkang pada awal 1980-an.
SIAPA bisa menebak nasib. Begitu juga Itos tak menyangka pertemuannya dengan Odios bakal mengubah garis hidupnya. Saat itu, tahun 1979, Itos mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Pendidikan Seni Rupa, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang. Ia berkenalan dengan Odios, yang juga mendaftar di jurusan yang sama. Keduanya berkenalan, dan surprise karena ternyata berasal dari daerah yang sama pula: Kaliwungu. Hanya beda kampung. Itos berasal dari desa Krajankulon, sedangkan Odios dari desa Plantaran.
Pembicaraan pun berlangsung. Saat itu, Odios mengenggam koran mingguan Bahari.
“Apa istimewanya koran itu?” tanya Itos.
“Karena ada kartun saya, Wak Kamal, yang dimuat secara tetap di sini,” jawab Odios.
Odios mengenal kartun sejak kelas 2 sekolah menengah pertama. Saat itu ia sudah mengirim kartun ke majalah Stop, tapi ditolak redaksi. Baru ketika kelas 1 sekolah menengah atas kartunnya dimuat majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat. Sedangkan Itos dikenal sebagai dalang cilik.
Itos belum tahu kartun. Karena itu ia menanyakan ini-itu, dan Odios menjelaskannya. Itos mengaku tertarik dan ingin tahu lebih jauh tentang kartun. Odios pun mengundang Itos mampir ke rumahnya. Di rumah, Odios menunjukkan berbagai jenis kartun. Itos makin tertarik, bahkan ingin belajar.
Baik Itos maupun Odios ternyata tak diterima di Pendidikan Seni Rupa. Itos malah diterima di diploma I jurusan Bahasa Indonesia, sedangkan Idios di diploma I jurusan Bahasa Inggris. Interaksi pun makin intensif.
Liburan kuliah tiba. Odios harus menyelesaikan pekerjaan sambilannya sebagai “Desainer Motif” untuk Joeni Batik di Jakarta. Ia menawari Itos untuk ikut, sambil mengatakan bahwa dia punya banyak waktu untuk mengajari kartun di Bogor, tempat workshop Joeni Batik. Itos mau, dan bersiaplah mereka untuk berangkat. Upacara pelepasan diadakan karena ibu Itos mengkhawatirkan anaknya ayang belum pernah pergi ke Jakarta maupun Bogor.
Dan kebetulan pula saat itu, Majalah Anda memuat lima kartun Odios dalam edisi bulan itu. Odios terus memanas-manasi Itos bahwa tiap kartun berhonor lumayan. Itos makin terpacu. Sehari itu ia melahirkan sebuah figur atau “karakter tokoh” dengan ciri dan visualisasi berbeda.
Sambil memberi dorongan, Odios mengatakan, “Kalau dibolehkan saya akan bagi 75 kartun (yang dapat dia gambar dalam waktu dua hari) ke berbagai media yang cocok,” ujar Odios.
Sebulan kemudian, salah satu kartun Itos nongol di majalah Trubus disertai wesel honor Rp 1.000. Itos mabuk gembira. Dan sejak itu, keduanya sering terlibat diskusi. Itos juga acap diajak Odios untuk bergaul dengan para kartunis di Semarang. Salah satunya Jaya Suprana.
Tahun 1982, Paguyuban Kartunis Yogyakarta (Pakyo) mengadakan pameran kartun nasional.
Pameran yang tak dapat mereka ikuti itu membuat mereka iri. “Kami cuma menyantap beritanya dari media massa,” kata Odios.
Suatu saat, ketika keduanya hendak ke kantor pos Kaliwungu, tiba-tiba terbersit gagasan untuk membuat perkumpulan sejenis Pakyo. Nurrochim kemudian diajak. Dan lahirlah Komplotan Kartunis Kaliwungu –yang kemudian diganti Kelompok Kartunis Kaliwungu– 10 April 1982. Markasnya ditetapkan di rumah Itos, yang suka berorganisasi dan senang rumahnya dijadikan markas, di Jalan Boja 106, Kaliwungu.
Menurut Itos, ada sejumlah alasan mengapa Kokkang didirikan. Pertama, awal tahun 1980-an media cetak memberi perhatian cukup besar terhadap sajian kartun. Kedua, ketrampilan mengartun lebih mudah diajarkan ketimbang menulis maupun melukis. Ketiga, honor kartun cukup menggiurkan dan prospeknya cukup menjanjikan. Dan keempat, lingkungan Kaliwungu khususnya warga desa Krajan Kulon yang masih kental dengan budaya kebersamaan, kegotongroyongan, sangat potensial untuk pembentukan paguyuban.
Sementara Odios memandangnya secara sederhana. “Motifnya ya senang-senang dan gagah-gagahan saja,” ujar Odios. Kokkang menjadi kelompok kartunis yang pertama di Jawa Tengah.
Untuk menandai deklarasi, digelar pameran kartun di Pendopo Kawedanan Kaliwungu, yang dibuka oleh Jaya Suprana dan Dr. Soewondo PS Art dari Perhimpunan Pencinta Humor, Semarang. “Ibukota Jawa Tengah sebenarnya bukan Semarang, tapi Kaliwungu,” kata Jaya Suprana.
Pameran karya Itos dan Odios itu juga merupakan upaya untuk memikat anak-anak muda. Tema-tema kartunnya sederhana (gag cartoon) dengan teknik yang sederhana pula. Itulah pameran kartun kali pertama di Kaliwungu. Dan pameran itu berhasil menarik perhatian para pemuda, yang sebagian besar anak muda putus sekolah. Bergabunglah mereka sebagai anggota Kokkang.
Ketertarikan mereka didukung maraknya media cetak yang memungkinkan keterlibatan kartunis. Ruang untuk kartun melebar, dan itu menjadi tantangan yang perlu disikapi secara profesional. “Sekaligus menjawab tantangan kesulitan tenaga kerja,” kata Itos.
Tiap Sabtu dan Minggu, mereka membahas isu-isu aktual sambil mempertajam keterampilan membuat kartun, terutama bagi anggota baru. Jika ada kesulitan mereka berkonsultasi dengan seniornya. “Pendek kata kami sediakan air; mau diminum, mau buat mandi, mau buat cuci muka, terserah, selama itu bermanfaat dan tidak buat mengguyur orang lewat,” kata Odios.
Anggota Kokkang yang awalnya terbatas mereka yang bermukim di tiga desa: Krajan Kulon, Kutoharjo dan Sarirejo, kemudian melebar ke desa lain. Bahkan ke luar Kaliwungu. Bisa karena pengaruh keluarga maupun pergaulan.
Misalnya, Itos menularkan kemampuannya kepada adik-adiknya: Pujo Waluyo, Budi Setyowidodo, dan Budi Mulat Purnomo. Karena pergaulan, Itos menularkan hobi kartunnya ke tetangga kampung, Muhammad Nasir. Nasir berhasil menciptakan kartun dan dimuat di media cetak, yang lantas menarik adik-adiknya: Najib, Azis, Nazar dan sebagainya. Mata rantai itu terus berputar, dan memunculkan banyak kartunis baru, baik sebagai hobi maupun profesi. Umumnya adalah kartunis keluarga.
Dalam tenggang waktu tertentu, pertemuan-pertemuan dan kursus-kursus pun acap digelar. Memberi pembekalan prinsip-prinsip kesenirupaan, bagaimana mengenal media, pendalaman filosofi hingga soal-soal teknis semacam penggunaan tinta, pengenalan karakter kertas dan penggalian ide.
“Saya selalu mengajarkan mereka filosofi orang berak. Gambar, kirimkan ya sudah, nggak usah dinanti. Masalah honor itu nanti. Itu kan efek. Yang penting proses, berkarya. Sehingga ditolak pun menjadi sesuatu yang biasa,” tegas Itos.
Pengaruh-mempengaruhi adalah hal wajar dalam paguyuban. Umumnya, kartunis baru akan terpengaruh kartunis satu generasi di atasnya. Kemudian lama-lama mereka akan menemukan bentuknya sendiri. Ciri visual kartunis Kokkang biasanya bermata lebar dan berhidung besar.
“Saya percaya, tidak ada yang baru di bawah matahari. Jadi pengaruh itu sesuatu hal yang manusiawi. Saya memang terpengaruh, terutama oleh produktifnya kartunis Subro, Johny Hidayat AR dan lain-lain. Secara semangat mungkin, tapi secara teknis seingat saya tetap berjuang dengan cara saya,” kata Odios.
Perlahan tapi pasti, kartunis-kartunis muda muncul, dan mewarnai penerbitan di Indonesia. Karya mereka acap hadir di Nova, Bola, Gema Olahraga, Intisari, Suara Pembaruan, dan media yang menyediakan ruang kartun. “Intisari adalah media paling lama menyediakan kolom kartun, beroplah besar, paling eksis dan memberi penghargaan paling tinggi. Lainnya, buka tutup,” kata Itos.
“Intisari adalah legenda, sebagai inspirasi dan ukuran bahwa jika sudah dimuat maka menang. Intisari juga berhasil mewibawakan kartun, tidak hanya sebagai stopper. Bahkan kadang satu halaman dan colour,” imbuh Prie GS yang masuk Kokkang tahun 1987 karena mengidolakan Odios dan Itos.
Acap kali ada pihak media yang menelpon dan mengabari tersedia kapling dengan tema tertentu. Atau bahkan menunjuk orang-orang tertentu untuk mengisi ruang.
Beberapa anggota Kokkang juga merambah media cetak, mengisi kebutuhan redaktur, ilustrator, kontributor lepas maupun wartawan: M Nasir (Bola), Prie GS, Nurrochim dan Joko Susilo (Suara Merdeka), Pujo Waluyo (Peluang), Muktafin (Rakyat Merdeka), Hertanto (Warta Kota), Ipong Gufron (freelance Duta Masyarakat), M Komarudin (kontributor Peluang), Wawan Bastian (Aura), Wahyu Widodo (Surabaya Post) dan sebagainya. Meski sebagian ke Jakarta, Kokkang belum habis. Selalu ada kartunis baru lahir.
Oktober 1995, persis tengah malam, sebuah mobil kijang berhenti di pinggir jalan, di depan sekretariat Kokkang. Ada tamu penting yang datang khusus mengunjungi mereka. Seorang bermata sipit, berbadan tegap dan berkaca mata. Dia adalah Kosai Ono, pengamat kebudayaan dari Jepang. Dia diantar antara lain oleh kartunis Priyanto Sunarto, Pramono R. Pramoedja yang juga ketua Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti), Yehana (Semarang Cartoonist Club) dan Prie GS.
Menurut Pramoedja, kedatangan Ono didahului surat-menyurat lewat email antara dirinya dan Ono. Pramoedja mengatakan bahwa di Indonesia, tepatnya di Kaliwungu, terdapat sebuah kampung seperti di Omiwa, kota kecil di Tokyo, Jepang.
Omiwa adalah perkampungan kartunis, yang penduduknya mengartun karena profesi dan mengirimkan karyanya ke segala macam media. Bedanya, kebanyakan kartunis di Omiwa dewasa dan orangtua. Kartunis di Kaliwungu lebih beragam. Ono penasaran, dan datang ke Indonesia khusus untuk berkunjung ke Kaliwungu.
Markas Kokkang seketika ramai. Dialog pun berlangsung meski menggunakan bahasa Inggris. Ono terkesan, dan menuliskan kesan-kesannya pada sebuah buku berbahasa Jepang. “Kok bisa sebuah kampung dengan masyarakat yang sederhana memproduksi kartun yang disebar kemana-mana. Dengan manajemen produksi yang juga unik,” komentar Kosai Ono seperti ditirukan Sunarto.
“Tadinya Kosai Ono mengira Kokkang sebagai sindikat. Karena di Jepang nama Kokkang terkenal. Dan setiap lomba kami mengirim dengan satu alamat, dengan banyak orang,” kata Itos.
Sekitar pukul 01.30, Ono pun pamit.
Begitulah kesibukan di sanggar Kokkang. Setiap ada tamu datang, dengan sigap mereka berkumpul dan menemani. Termasuk wartawan. Setiap harinya kesibukan juga selalu tampak. Ada yang membaca koran, membuka katalog kartun atau sibuk menggambar. Sebagian angota Kokkang suka menggambar di sanggar yang menyediakan peralatan dan perangkat menggambar. Di sanggar komunikasi dan diskusi ide juga bisa terjalin.
Aktivitas mengartun di sanggar biasanya dilakukan pagi hari sekitar pukul 08.00-13.00 dan malam hari pukul 20.00-24.00. Ada kalanya mereka menginap di sana. Sebagian lainnya lebih suka menggambar di rumah. “Tapi karena sanggar ini sudah lapuk, aktivitas anggota lebih banyak di rumah masing-masing. Acara kumpul juga seringkali bergilir. Kecuali hari Sabtu dan Senin, “ kata Itos.
Sabtu dan Senin merupakan hari yang selalu ramai didatangi anggota Kokkang. Hari Sabtu karena biasanya wesel kiriman honor dari berbagai media datang, dan Senin digunakan untuk mengirimkan karya. Pengiriman menggunakan amplop berlogo Kokkang. Setiap mengirim karya, setiap anggota juga memakai alamat sekretariat Kokkang di Jalan Boja 106 Kaliwungu atau Po Box 203 Klw. Kendal 51372.
Sistem satu pintu itu menguntungkan. Anggota tak perlu repot-repot ke kantor pos, dan memungkinkan anggota menggunakan banyak inisial untuk kartun-kartun yang dikirim ke media. “Mengusir kebosanan menggambar satu tokoh, dan peluang dimuat besar,” kata Zaenal Abidin, yang rajin mengirim kartun setiap minggu.
Begitu kartun mereka dimuat, honor akan dikirim ke sekretariat. Organisasi tinggal menyunat 10% untuk kas. “Ini memang sudah kesepakatan,” ujat Itos. Kas itu berguna untuk keperluan pengayaan literatur, pameran atau bahkan membantu anggota Kokkang yang lagi apes misalnya sakit keras, meninggal dan sebagainya.
Bahkan ada kesepakatan untuk memasang kata Kokkang di bawah nama mereka di dalam karya. “Itu untuk identitas organisasi. Mungkin juga banyak yang diuntungkan oleh seleksi redaksi yang sudah telanjur tahu Kokkang,” ujar Odios.
Menurut Itos, ada 15 anggotanya yang menyandarkan hidup melulu dari kartun. Tiap bulan mereka dapat honor antara Rp 300.000-Rp 500.000, dari pemuatan kartun di koran atau majalah.
Zaenal Abidin, misalnya, terbilang sebagai kartunis profesi. Lajang berusia 27 tahun itu kini paling produktif. Tiap hari ia bisa membuat 50-80 kartun berupa gag cartoon dan strip dengan tema yang berbeda. “Memang saya target, dan mengejar setoran,” kata Abidin yang mengaku berpenghasilan sekitar 300.000-400.000 per bulan, tidak termasuk hadiah lomba.
Anehnya, tak ada kartunis perempuan yang muncul. Menurut Itos, dulu ada seorang perempuan menjadi anggota Kokkang. Yulin Prehatna, nama perempuan itu, karyanya sudah pernah dimuat di media. Tapi kemudian tidak aktif lagi.
Perkembangan Kokkang menuntut pemikiran ke arah diversifikasi usaha, tak melulu berkutat pada kartun. Program kerja sama pembikinan film animasi, pembuatan kaos, desain buku, komik dan sebagainya dicanangkan. Dan hampir mendekati kenyataan.
Desember 1995, datang tawaran menarik dan menantang ke sekretariat Kokkang. Seorang pengusaha bernama Slamet Sugianto yang memiliki production house, Anugerah Animasi, meminta beberapa anggota Kokkang ke Jakarta. Kartunis daerah lain juga ikut; Jakarta, Bandung dan Solo, masing-masing satu orang. Sugianto ingin membuat film animasi atau kartun yang membumi. “Obsesi lama hampir menjadi kenyataan ” kata Muchid Rahmat, generasi ketiga di Kokkang yang ikut berangkat ke Jakarta.
Sepuluh orang kartunis Kokkang dikirim. Selama satu setengah tahun mereka diajari proses pembikinan film animasi, dari mulai penggunaan alat (komputer), materi-materi seperti bedah naskah, hingga produksi. Selama pelatihan itu pengusaha film animasi lain juga mengajukan penawaran kerja, tapi mereka tolak. Satu klip lagu anak-anak yang diselipi kartun pun sudah jadi. Sayang, proyek itu terhenti.
Sebagian kartunis pulang ke Kaliwungu. Ada yang kembali jadi kartunis, tapi ada pula yang menerapkan keahlian dari pelatihan di Jakarta. Muchid misalnya, mulai tertarik membikin komik. Di samping alasan honor kartun yang sedikit, kapling yang menyempit dan tuntutan hidup. “Apa salahnya diversifikasi,” aku Muchid.
Rintangan pertama menghadang. Menulis baginya adalah pekerjaan amat berat. Namun pengalaman membedah naskah di Jakarta cukup membantu. Ia keasyikan, dan kebablasan di komik. Setelah membuat ilustrasi untuk penerbit lokal, seperti Kanisius (Yogyakarta), Mandira (Semarang) dan Intan Pariwara (Klaten), ia kini menjadi komikus freelance di Elex Media Komputindo (Gramedia). Muchid membuat 10 seri fabel Indonesia.
Selain Muchid, setidaknya ada tiga anggota Kokkang yang juga menggeluti komik. Mahfud Saiful yang memengaruhi Muchid berkomik-ria, pernah di Mandira. Sedangkan Tevi Hanafi dan Muhammad Nazrudin sedang menggarap buku komik dari Kanisius. Meski asyik di komik, ternyata mereka tak bisa meninggalkan kartun. “Jiwa saya kartun, meski komik tetap yang utama,” kata Muchid.
Para kartunis Kokkang juga membuat desain kaos, papan nama dan baliho. Namun tak begitu berkembang karena kesulitan manajemen. “Kita butuh SDM yang maju secara manajemen. Artis sudah punya, tapi manajer belum kami temukan,” kata Itos.
JUMAT, 16 Oktobet 1998. Kesibukan tampak di lobi Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Beberapa karya kartun dipamerkan di lobi hotel, yang akan berlangsung hingga 18 Oktober. Kartun-kartun itu adalah karya para pemenang dan nominator Festival Kartun 1998.
Presiden B.J. Habibie batal membuka pameran. Ketua dewan juri GM Sudarta sibuk mencari tukang koran di depan hotel. Ia memperolehnya. Dua penjual koran kakak-beradik berusia belasan tahun digandeng GM Sudarta menuju lobi, kemudian duduk di kursi undangan. Beberapa saat kemudian, dua anak bersandal jepit itu memukul gong amat keras berkali-kali. Pameran telah dibuka. Para undangan termasuk beberapa diplomat tertawa.
Pemenang festival kartun bertema reformasi yang diselenggarakan oleh SIMA Communications ini bukanlah nama asing di dunia kartun. Juara I direbut oleh Wawan Bastian (Jakarta); juara II H.O. Dipayana (Jakarta); juara III Muhammad Najib (Jakarta); juara IV masing-masing Dendy Hery Hardono (Bandung), Jitet Koestana (Semarang), dan Muhammad Nasir (Jakarta). Mengalahkan 1.600 peserta.
Pemenang pertama, Wawan Bastian, sebelumnya tergabung dalam Kokkang. Dia pernah mengisi kartun-kartun di majalah Humor, dan pernah memenangi berbagai lomba kartun serta pernah mendapat penghargaan dari Jepang dan Belgia. Bastian menjadi pemenang dalam festival ini dengan karya berjudul “Reformasi Terpecah”. Di situ digambarkan para demonstran dengan membawa huruf masing-masing “R-E-F-O-R-M-A-S-I” berjalan sendiri-sendiri ke berbagai arah. Ada dua nama kartunis lain yang berasal dari Kokkang, yakni Najib dan Jitet Koestana.
Menarik, komentar GM Sudharta dan Wahyu Sardono sebagai dewan juri mengenai karya-karya yang dipamerkan itu. Seperti dilaporkan Kompas, mereka berpendapat, persoalan para kartunis tetap persoalan klasik, yakni kurang kaya dan kurang kuatnya gagasan. Meski dari segi gambar beberapa di antaranya menunjukkan goresan yang kuat.
Beberapa karya kartunis Kokkang, terutama yang masih tinggal di Kaliwungu, dianggap slapstick. Itu juga diherankan Syahrinur Prinka dari majalah Tempo. Menurutnya, meski ada beberapa yang bagus, tapi secara hasil masih standar. “Standar itu lucu. Daya pikir untuk lucu masih ada pada gambarnya, tapi bukan apa yang di belakangnya. Selain gambar, mestinya ada yang dibelakangnya,” ujarnya.
Prinka juga melihat belum ada karya Kokkang yang menonjol. “Dalam artian, belum ada karya yang menonjol karena individualitasnya kuat,” imbuh redaktur senior majalah Tempo ini.
Gag cartoon lebih menonjol ketimbang editorial cartoon. “Mungkin belum, dan belum ada sarana yang bisa memberikan masukan. Pembuat kartun dapat masukan. Pramono, GM Sudharta punya sarana, dapat masukan. Sedangkan mereka (Kokkang) bikin apa yang teringat, kirim,” ujar Prinka yang penasaran dan tertarik untuk berkunjung ke Kaliwungu.
Kartunis tetap Suara Merdeka, Prie GS, memandang sisi eksklusivitas editorial cartoon yang tak tersentuh mereka karena ketergantungan media pada kartunis tetap. Dan alasannya masuk akal, media butuh untuk menciptakan maskot, dan kedua butuh silaturahmi teknis; policy media.
Namun ia juga melihat anggota Kokkang, bahkan yang senior pun masih pada strategi yang sama, bacaan dan konvensi-konvensi yang sama, tak beranjak dari tahun 1990-an di era gag cartoon. Padahal tantangan makin baru, dan selera humor juga mulai berubah. “Anggota Kokkang yang ke Jakarta yang tertolong,” ujar Prie GS yang kini memimpin redaksi Cempaka Minggu Ini (Suara Merdeka Group) sambil menambahkan gag cartoon hampir selesai, dan ruang media juga mulai berkurang.
Menurut Pramono R Pramoedja, untuk membuat editorial cartoon, paling tidak kartunis harus berjiwa wartawan. Dan itu tidak dimiliki kartunis Kokkang. Mereka hanya menangkap situasi politik, ekonomi dan sebagainya dari koran. “Kokkang baru pada segi-segi yang humoris, lucu dan menggelitik. Belum yang sakartis, meski tragis,” ujar Pramoedja.
Pramoedja juga menolak ketergantungan pada media. Kartun editorial juga bisa dibuat untuk pameran, koleksi, atau buku.
Tak semua kartun Kokkang slapstick. Priyanto Sunarto tak setuju generalisasi. Meski kartun yang dibuat rata-rata kartun genre atau lelucon sehari-hari tapi tak selalu slapstick (banyolan fisik). “Kan yang bikin sekampung dengan umur, status, profesi dan gender yang berbeda-beda,” katanya.
Editorial cartoon, sambung dia, juga berkembang di antara anggota Kokkang. Ia menceritakan pengalamannya membuat pameran Kartun untuk Demokrasi (KuD) selama dua kali. KuD-1 tentang pemilihan umum dan KuD-2 tentang wakil rakyat, diikuti banyak peserta dari Kaliwungu. “KuD-2 malah 40% peserta dari situ. Dan hasil mereka juga bagus-bagus.”
Sunarto membandingkan dengan kartun editorial di Jepang yang tersisih dari komik atau manga dan kartun-strip humor. “Di Indonesia masih lumayan diperhatikan. Ada kolom khusus kartun politik di media. Di Jepang orang sudah jenuh kerja, maunya mencari hiburan yang antara lain dengan kartun,” kata dosen Institut Teknik Bandung ini.
Odios juga melihat kurangnya iklim apresiasi dan penghargaan di Indonesia yang bisa menopang kartunis hidup layak. Peran media juga amat terbatas. “Nah, kalau tidak ada yang memberi kesempatan, apa harus slonang-slonong. Kan lucu. Media itu penting karena itu ladangnya. Benih kacang tak mungkin tumbuh di udara,” ujar Odios berkelakar. Ia kini bekerja di studio kecil di rumahnya; menulis buku, melukis, menulis cerita lucu untuk televisi dan sesekali menulis kolom untuk surat kabar/majalah.
Ide kartun anggota Kokkang bervariasi, dari yang sederhana hingga rumit yang membutuhkan perenungan. Ide bisa muncul ketika melihat kartun-kartun di media maupun katalog-katalog, yang kemudian dikembangkan dalam tampilan yang baru. Acap kali ide juga muncul ketika kartunis sedang dalam proses berkarya. Dari satu ide, muncul ide lanjutannya. Umumnya, tema-temanya berkutat seputar kehidupan sehari-hari. “Kartun itu humor yang universal, apa saja bisa diangkat menjadi kartun,” kata Itos.
Cara lainnya lewat perenungan ketika kekeringan ide atau mencari ide untuk mengikuti lomba yang cenderung tematis. “Meski tematik, katalog atau lomba di luar negeri juga kebanyakan gag cartoon, bukan kartun cerewet,” kata Abidin yang sudah memenangi lima penghargaan internasional.
Kartunis muda Kokkang menyebut editorial cartoon sebagai kartun cerewet yang harus dijelaskan dengan kata atau kalimat.
23 April 2000, dua anggota Kokkang membuat acara syukuran. Mereka menjamu teman-temannya dari Kokkang dengan hidangan nasi tumpeng dan jajan pasar. Sebuah acara yang rutin dilakukan kalau ada kartunis Kokkang yang mendapat hadiah uang cukup besar.
Keduanya adalah Zaenal Abidin dan Mohammad Muslikh yang baru saja memenangi The Yomiuri Shimbun International Cartoon Contest Tokyo Japan yang diselenggarakan koran Yomiuri Shinbun. Abidin meraih hadiah “Special Prize Selection Committee” dengan karyanya Pintu, dan berhak meraih hadiah: 200.000 atau sekitar Rp 13,4 juta. Sedangkan Muslikh memeroleh hadiah “Excellent Prize”. Ia mengantongi uang 100.000 atau sekitar Rp 6,7 juta.
Kokkang selalu langganan menang di lomba kartun, baik nasional maupun internasional. Menurut Itos, sekitar 15 anggota Kokkang rutin meraih penghargaan. Mereka selalu ikut pameran atau lomba di Jepang, Korea Selatan, Turki, Belanda dan Belgia. Karya yang mereka kirim sesuai tema dan ketentuan penyelenggara; kekerasan, hak-hak asasi manusia, pemilihan umum, banjir, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Para anggota paguyuban kartunis ini sudah ikut lomba di luar negeri sejak 1986. Dan hampir tiap tahun ada saja kartunis dari kampung ini berhasil menggondol juara.
Hingga kini, setidaknya 100 penghargaan internasional sudah teraih. Jumlah hadiahnya lumayan besar, dan dalam mata uang asing pula. “Dengan memenangi berbagai macam lomba kartun di luar negeri, kami ikut berperan sebagai duta dalam diplomasi kebudayaan,” kata Itos yang kini bekerja sebagai penilik kebudayaan di Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Kendal. Itos pernah meraih hadiah tujuh kali di luar negeri: Jepang (4), Turki (2) dan Korea Selatan.
Setiap tahun selalu ada undangan lomba dari mancanegara. Selain Yomiuri Shimbun, juga ada The Magna Cartoon Exhibition Hokaido Japan, Sport Chosun International Cartoon Contest Seoul of Corea, Internationaal Cartoonfestival Knokke Heist (Belgia) atau International Nasreddin Hodja Cartoon Contest (Turki). Namun kini, mereka selektif untuk mengikuti lomba. Acuannya adalah berapa hadiah yang panitia lomba sediakan. “Jepang wajib, lainnya sunnah,” kata Abidin, yang masuk Kokkang tahun 1994.
Karya-karya mereka juga menghiasi katalog-katalog kartun dalam dan luar negeri.
Dari kampung kecil di Jawa Tengah, Kokkang menjadi duta kesenian Indonesia di mancanegara. Nama Indonesia pun harum bak melati, tanpa mengeluarkan kocek. Sementara di Indonesia sendiri ruang mereka makin sempit. Setidaknya makin sedikit media yang menyediakan ruang kartun. “Kami sudah biasa dikemplang media. Pernah juga tak dibayar,” kata Itos yang pernah meraih Rotary Club Semarang atas pengabdian masyarakat terhadap kebudayaan, tahun 1997.
Artinya, masih panjang pencapaian yang mesti diraih. “Itu soal paradigma. Ketergantungannya terhadap media massa sangat besar,” ujar Odios mencoba berotokritik.
Malam makin larut, dan hujan mulai kelelahan. Sambil memamerkan karya-karyanya yang berjumlah ribuan, Itos bersuara lantang tanpa kesan meratap. “Penghargaan terhadap kartunis di Indonesia amat kurang. Pemerintah hanya mendata dan tak pernah melakukan pembinaan. Ibarat mau merumput, saya tak dikasih sabit,” katanya. sumber : majalah pantau/ 1 May 2001
Geliat Kelompok Kartunis Legendaris Kokkang Melakukan Regenerasi
“Kok Bisa ya Nggambar Selucu Itu”
Kokkang tidur panjang selama empat tahun karena berbagai sebab. Pameran karya alumni bakal menandai kesiapan mereka untuk kembali mengajak anak-anak muda belajar menggambar.
AGAS PUTRA HARTANTO, Kendal
—
RUMAH bambu bertingkat dua itu sudah tak berjejak lagi. Yang tersisa di bekas lokasinya berdiri sekarang hanya ceceran sampah.
“Dirobohkan sekitar tahun 2010. Bangunannya sudah reyot termakan usia,” ucap Djoko Susilo, kartunis, saat ditemui di rumahnya, Bumi Plantaran Indah, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.
Padahal, di situlah, di rumah yang kini tak berbekas di Desa Krajan Kulon, Kaliwungu, tersebut, Kelompok Kartunis Kaliwungu (Kokkang) berproses. Hingga melahirkan begitu banyak kartunis terkenal di tanah air.
Djoko yang bekerja di Suara Merdeka salah satunya. Ada pula Budi Setyo Widodo (Tiyok) yang berkiprah bersama harian Media Indonesia, Tyud dan Wawan Bastian di Koran Sindo, Ifoed dan Muktafin di Indopos, Hertanto Soebijoto di Warta Kota, dan M. Nasir di tabloid Bola (kini sudah tutup). Juga, kartunis Jawa Pos Wahyu Kokkang yang baru saja menyabet penghargaan jurnalistik Adinegoro.
Sekitar satu jam perjalanan darat dari Kaliwungu, di kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang, di sanalah Kokkang bermula. Saat Darminto Masiyo Sudarmo atau Odios dan Budi Santoso alias Itos sama-sama mendaftar ke perguruan tinggi yang kini menjadi Universitas Negeri Semarang tersebut pada 1979.
Kebetulan, mereka sama-sama berasal dari Kaliwungu, hanya beda desa. Odios dari Desa Plantaran, sedangkan Itos dari Desa Krajan Kulon.
Odios penggemar kartun sejak kecil. Dia aktif menggambar sejak duduk di bangku kelas II sekolah menengah pertama. Hasil karyanya tersebut kemudian dikirim ke berbagai koran dan majalah. “Tapi, selalu ditolak,” ungkapnya.
Namun, Odios tidak menyerah. Dia terus belajar dan mengasah kemampuan. Usahanya berbuah. Kartun karyanya dimuat kali pertama oleh majalah Panjebar Semangat. Dengan mengusung tema sosial pergaulan muda-mudi.
“Senangnya bukan main, meski honornya tidak seberapa,” katanya, lantas tertawa, saat ditemui di kediamannya di Bukit Kencana Jaya, Semarang.
Itos baru mulai tertarik dengan kartun ketika melihat karya Odios. Apalagi saat mengetahui kartun Odios nampang di majalah Anda dan mendapat honor yang terbilang lumayan.
Itos semakin ingin tahu dan belajar lebih dalam mengenai kartun. “Itos sangat rajin. Bisa sampai 75 karakter kartun yang dia gambar dalam dua hari,” terang mantan pemimpin redaksi majalah Humor (1990-1998) tersebut.
Sejak saat itu keduanya acap kali berdiskusi untuk membahas kartun. Odios juga kerap mengajak Itos bergaul dengan para kartunis Semarang. Salah satunya, seniman Jaya Suprana.
Pameran kartun nasional oleh Paguyuban Kartunis Yogyakarta (Pakyo) di Jogjakarta pada 1981 menjadi awal mula lahirnya Kokkang. “Karya-karyanya luar biasa. Sepulang dari sana, kami langsung sepakat membentuk kelompok kartunis dengan nama Kokkang,” kenang Odios.
Dari sana proses yang kemudian melahirkan banyak kartunis terkenal tanah air itu bermula. Seminggu sekali, tiap Minggu, anak-anak dari berbagai desa di sekitaran Krajan Kulon berkumpul.
Di bawah bimbingan Odios dan Itos serta para senior lain, mereka belajar menggambar bersama. “Saya masih SMP waktu mulai ikut. Kami diajari teknik, bagaimana mengembangkan ide, dan dikenalkan karakter tiap-tiap media yang kala itu mempunyai halaman kartun,” kenang Wahyu.
Namun, lanjut Wahyu, tak semua yang ikut belajar menggambar sebenarnya berkeinginan menjadi kartunis. Ada yang hanya ingin bersenang-senang.
“Seringnya anak-anak Kokkang berpameran di Kaliwungu yang jadi pemicu ketertarikan anak-anak lainnya. Kok bisa ya nggambar selucu itu,” katanya.
Regenerasi pun tumbuh dari sana. Hingga Kokkang tak henti menelurkan kartunis yang mewarnai begitu banyak halaman media di tanah air.
Hanya, sayangnya, empat tahun setelah dirobohkannya rumah yang jadi markas besar mereka, regenerasi itu terhenti. Sampai 2018, sudah empat tahun kevakuman itu. Tidak ada kegiatan. Tidak ada pembinaan.
Menurut Odios, banyak faktor yang melatarbelakangi. Antara lain, berkurangnya rubrik kartun di media cetak, maraknya media online, hingga kesibukan tiap-tiap pengurus.
Bukan berarti tak ada lagi tangan-tangan kreatif dari Kaliwungu yang melahirkan kartun dan mengirimkannya ke media. Bahkan, ada pula yang mengajar dan punya murid. “Tapi pribadi, bukan atas nama Kokkang,” kata Djoko yang juga tercatat sebagai mentor di Sekolah Mode Susan Budihardjo, Semarang.
Djoko termasuk yang masih aktif mengajar. Di almamaternya, SMAN 1 Kaliwungu, Kendal, dia menangani kelas menggambar. “Saya mau ngajar ekstrakurikuler di sekolah karena itu merupakan salah satu cara untuk regenerasi. Itu yang belum dilakukan grup (Kokkang, Red),” imbuhnya.
Namun, harapan itu tumbuh. Totok Haryanto, kakak kandung Djoko, ditunjuk sebagai ketua baru Kokkang September tahun lalu.
Totok yang merupakan sarjana hukum lantas mendaftarkan Kokkang ke Kemenkum HAM sebagai komunitas yang berbadan hukum. “Agar lebih tertata dan memiliki AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga, Red) yang jelas. Sehingga organisasi ini kembali hidup,” kata Totok.
Bersama sang adik, Totok juga akan menggandeng alumni yang masih berdomisili di Kaliwungu untuk kembali menggerakkan Kokkang. Membina anak-anak muda. Melakukan regenerasi.
Hanya, persoalannya, keduanya sadar bahwa remaja sekarang sudah tidak mengenal Kokkang. Karena itu, diperlukan gebrakan untuk mengamplifikasi kembali aktifnya Kokkang: pameran kartun.
Pendapa Kawedanan Kaliwungu, tempat berbagai pameran Kokkang dihelat dulu, bakal dipilih sebagai lokasi pelaksanaan. Selain itu, akan ada workshop untuk menggaet anak-anak muda agar tertarik bergabung.
Media gambar yang akan digunakan bukan hanya kertas gambar. Bisa kaus, mug, atau nampan. “Karena saat ini menggambar bisa di mana saja. Tidak harus dimuat di koran atau majalah,” kata Djoko.
Rencana awal, kegiatan itu digelar pada 10 April mendatang. Bertepatan dengan ulang tahun ke-38 Kokkang. “Tapi, karena April bulan pemilu, kemungkinan mundur. Bisa jadi pertengahan tahun sembari kami mencari dana dan sponsor,” jelas Totok.
Yang pasti, acara tersebut nanti melibatkan seluruh alumni. Yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Karya mereka kelak akan dipajang. Dari sana, seperti yang dialami Wahyu dan generasinya dulu, ketertarikan anak-anak muda bisa tumbuh. Dari kekaguman “kok bisa ya nggambar selucu itu”. (JP).
KOKKANG, Kartunis Lokal Prestasi Nasional Bahkan Internasional Gelar Pameran Akbar
Kelompok Kartunis Kaliwungu (Kokkang) Kendal, Jawa Tengah membuat kejutan di hari ulang tahunnya (HUT) yang ke-38.
Gebrakan yang dilakukan para kartunis Kokkang adalah menggelar pameran kartun nasional di dua tempat dalam waktu yang berdekatan.
Pertama di Tirto Arum Baru Kendal dari tanggal 10-12 Agustus 2019.
Kedua di Pendopo Kawedanan Kaliwungu, 23-25 Agustus 2019.
Tak tanggung-tanggung, hampir seluruh kartunis Kokkang–baik yang masih bekerja di berbagai media nasional antara lain Warta Kota, Indopos, Koran Sindo, Suara Merdeka, Jawa Pos, Media Indonesia, Tabloid Bola, Infobank Lampu Hijau, —maupun yang freelancer alias kartunis lepas ikut berpartisipasi memamerkan karyanya.
Beberapa di antaranya telah mengukir prestasi nasional maupun internasional. Di antaranya Djoko Susilo (Suara Merdeka) Wahyu Kokkang (Jawa Pos) dan Budi setyo widodo (tiyok) yang telah meraih penghargaan Piala Adinegoro untuk kategori karikatur.
Bahkan, Djoko Susilo telah “langganan” meraih penghargaan di luar negeri, di antaranya di Jepang (THIRD PRIZE Manga International Cartoon Festival Okhotsk JAPAN, 1993; WORK OF SPECIAL MERIT Manga International Cartoon Festival Okhotsk JAPAN, 1994 dan 1996), di Belgia (MET STEUN VAN International Cartoon KNOKKE HEIST, 1993) dan Korea (Best Cartoon SICACO 2017 The Sejong International Cartoon Contest, 2017).
Pameran kali ini mengusung tema “Merajut Indonesia”, diikuti 50 kartunis.
Tak heran, ratusan karya ditampilkan dalam pameran tersebut. Saking produktifnya hasil karya kartunis Kokkang kali ini, sampai-sampai sketsel yang telah disediakan panitia tidak mencukupi.
Walhasil, karya kartun yang telah dibingkai rapi yang tidak tertampung dipasang disketel ditaruh begitu saja, namun berjejer rapi sehingga pengunjung tetap dapat menikmati karya-karya tersebut dengan nyaman.
Banyak karya-karya yang mengangkat tema yang sedang “hot”. Di antaranya karikatur Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
Kedua tokoh bangsa yang belum lama bersaing dalam Pilpres 2019 itu digambarkan sedang merajut pentingnya persatuan dan memberikan semangat untuk membangun Indonesia tanpa perbedaan.
Tema-tema lain yang tak luput dari garapan para kartunis Kokkang, di antaranya tentang berita hoaks dan korupsi.
Salah satu pengunjung dari Grobogan, Sri Sarwo Utomo mengaku kagum dengan karya kartunis Kaliwungu ini.
“Pesan yang disampaikan dalam kartun dan karikatur ini penuh makna dan mengajak seluruh elemen bangsa kembali merajut indonesia dalam wadah persatuan dan kesatuan,” kata Sri Sarwo usai menyaksikan pameran di Tirto Arum Baru Kendal.
Sengaja
Sementara itu Ketua Pameran Kartun Nasional Kokkang, Agus Widodo alias Guzwid mengaku sengaja memilih tema Merajut Indonesia karena melihat situasi politik dan sosial yang penuh konflik.
“Dari sinilah muncul gagasan untuk kembali menyatukan bangsa melalui karya kartun,” ujar Guzwid yang juga seorang PNS ini.
Setidaknya ada 250 karikatur yang dipamerkan. Karya tersebut dibuat oleh kartunis Kaliwungu yang tersebar di sejumlah kota di Indonesia.
Guzwid mengatakan, pameran mengambil tema Merajut Indonesia, karena ingin menyatukan kembali persatuan Indonesia, karena sebelumnya melihat situasi politik yang memanas dan berpotensi adanya perpecahan.
Sebagai seorang seniman, para kartunis Kokkang ingin mencurahkan tentang kondisi politik yang terjadi melalui gambar kartun dan karikatur yang diharapkan dapat menjadi warna tersendiri untuk meredam panasnya suhu politik.
“Harapannya, kita sadar kembali, bahwa Indonesia ini negeri pelangi, yang terdiri dari berbagai macam ras, suku, bangsa ini harus menjadi satu yaitu Indonesia,” harapnya.
Senada dengan Guzwid, Ketua Kokkang Totok Haryanto menjelaskan, pameran bertema Merajut Indonesia, karena pihaknya ingin menyatukan kembali bangsa Indonesia paska Pemilu 2019.
Sekarang sudah tidak ada lagi 01 dan 02, tetapi yang ada 03, yakni persatuan Indonesia.
‘’Pemilu 2019 sudah selesai. Tidak ada lagi perbedaan yang bisa menimbulkan perpecahan. Semua harus bergandeng tangan untuk merajut Indonesia,’’ kata Totok.
Staf Presiden
Pameran tersebut dibuka oleh Deputi IV bidang Komunikasi Politik dan Desiminasi Informasi/ Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo.
Eko mengapresiasi pameran karikatur ini. Menurutnya, tema Merajut Indonesia merespon situasi yang berkembang saat Pemilu dan Pilpres 2019 yang melahirkan banyaknya ujaran kebencian dan hoaks.
“Kritikan lewat kartun lebih mudah dipahami karena juga ada lelucon yang disampaikan namun tetap memberikan masukan yang baik,” kata Eko.
Eko Sulistyo mengatakan, kritik merupakan pesan yang dapat ditampung, terlebih pemerintah sekarang bukan pemerintah yang antikritik.
Terkait dengan penyampaian kritik melalui media kartun ini akan memberikan nuansa berbeda dalam penyampaian kritik, karena dalam pesan yang disampaikan berisi makna teguran yang diwarnai dengan nuansa humor.
“Tema ini sangat bagus, karena merespon situasi akibat atmosfir politik yang penuh dengan ujaran kebencian dan fitnah. Kritik ini bukan ujaran kebencian. kritik juga bukan hoax, dan kritik melalui media kartun bisa menjadi semacam jamu buat menyampaikan kritik pada pemerintah,” ujarnya.
Pameran akan digelar road show di 20 kota di Indonesia.
Pameran terbuka untuk umum dan tidak ditarik tiket masuk alias gratis.
Selain menggelar pameran kartun nasional, kartunis Kokkang juga meluncurkan majalah kartun Tawa Nusantara.
Lewat pameran kartun ini Kokkang yang didirikan oleh Darminto M Sudarmo, Itos Budi Santoso dan Nur Rochim pada 10 April 1981 ini bertekad untuk terus berkreasi menyongsong perubahan zaman.WK
Kepincut Kartun Sejak SD, Djoko Susilo Raih Adinegoro Dua Kali
AS/Abdul Arif
-
Karikaturis Suara Merdeka Djoko Susilo
Dua Kali Raih Penghargaan Adinegoro
Kartun editorial yang terkadang lucu, serius, tetapi sarat makna sering menghiasi Harian Suara Merdeka. Salah satu orang yang banyak menghadirkan karya-karya ini adalah Djoko Susilo.
MENGKRITIK, memuji, dan mendorong kinerja seseorang, lembaga, bahkan pemerintah, tidak melulu harus dilakukan lewat kata-kata keras dan lantang saat berdemo. Tidak melulu juga lewat kajian ilmiah.
Banyak cara lain yang bisa dilakukan, termasuk lewat kartun editorial. Hal inilah yang dilakukan Djoko Susilo, karikaturis Harian Suara Merdeka.
Prna Tugas karya Djoko Susilo
Banyak pihak pun yang tergerak oleh karyanya. Tidak hanya itu, karyanya bahkan diakui banyak pihak, termasuk lewat trofi Anugerah Jurnalistik Adinegoro.
Bahkan penghargaan dia raih dua kali. Pada 2012, Djoko Susilo meraih penghargaan ini barkat karyanya berjudul ”Suntikan Moral”.
Dalam karya yang menang dengan penilaian 255 juri itu, Djoko menggambarkan arti penting suntikan moral bagi kalangan legislatif lewat kartun editorial yang cukup menggigit. Karikatur itu berupa gambar Gedung MPR/DPR yang mendapat infus bertuliskan ”moral”.
Delapan tahun berselang, Djoko kembali meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro, penghargaan tertinggi dalam ajang bergengsi yang digelar oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari 2020. PWI pun menyediakan hadiah Rp 50 juta untuk masing-masing pemenang di setiap kategori, trofi Anugerah Adinegoro 2019, dan piagam.
Penghargaan itu akan diserahkan pada HPN 2020 yang digelar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 7-10 Februari nanti. Dijadwalkan, acara ini didatangi Presiden Joko Widodo.
Karya Djoko yang menang kali ini berisi keprihatinan yang mendalam atas kondisi anak di Tanah Air. Karya itu membuat dewan juri yang terdiri atas Dolorosa Sinaga (pematung, dosen Institut Kesenian Jakarta), Gatot Eko Cahyono (karikaturis), dan Mohammad Nuh (Ketua Dewan Pers), menetapkan Djoko Susilo sebagai pemenang.
Dia diputiskan memenangi kategori Jurnalistik Karikatur dalam sidang dewan juri pada 20 Desember 2019. Karya berjudul ”Anak-anak Terlena oleh Gadget” yang terbit pada 24 Juli 2019 di Harian Suara Merdeka itu, menyisihkan 80 karya lainnya.
Keputusan ini dilampirkan dengan nomor 098- PGH/PP-PWI/2019. Penilaian berdasarkan topik, pesan, bahasa visual, komposisi, dan kualitas gambar.
Karya Djoko harus bersaing dengan sejumlah karya karikatur kiriman para peserta yang dimuat di media massa Indonesia sejak 1 Desember 2018 hingga 30 November 2019.
Karya Cerdas
”Permasalahan yang diangkat menarik. Kegandrungannya generasi anak usia dini terhadap gawai, yang membuatnya menjadi seorang anak egois, antisosial kepada sesamanya. Maka cukup cerdas juga karikaturis mengangkat masalah tersebut,” kata Dewan Juri, Gatot.
Menurut Gatot, unsur satir dalam karikatur karya Djoko Susilo digambarkan cukup sederhana, komunikatif, dan sangat menohok. Bagi anak usia dini dari kelas menengah ke atas, kecenderungan untuk memegang, bermain, dan menjadi penggila gawai itu adalah kenyataaan.
”Zaman internet sekarang ini, ada kalanya orang tua ikut bersalah. Salah satunya, sengaja memberikan gawai kepada anak usia dini tanpa berpikir dampak buruknya,” tuturnya.
Djoko menggambarkan, satu anak yang miskin dan tidak mempunyai gawai sedang membawa bola kaki untuk mencari teman bermain. Namun tidak satu pun ada yan bisa diajak bermain bola. Anak-anak dari kelas menengah ke atas, tetap asyik dengan kesibukannya bermain gawai.
”Di situlah tampak satirnya. Tidak ada kegiatan bermain, bersosialisasi dengan kawan-kawan seusia akibat banyak yang menggilai gawai. Sangat satir dan ironis,” paparnya.
Djoko Susilo pun mengungkapkan mengapa dia menjadikan anak-anak sebagai latar belakang karyanya.
”Saya membuat karya untuk Hari Anak Nasional kemarin. Hasil dari kegalauan saya tentang anak-anak saat ini yang terlalu bergantung pada gawai. Saya amati di kampung, sangat jarang anak-anak bermain di halaman. Mereka sibuk dengan gawai,” kata Djoko.
Anugerah Jurnalistik Adinegoro baginya, merupakan salah satu prestasi yang dinantikan karikaturis. Penghargaan ini menjadi penting untuk pemicu berkarya, bahwa penghargaan adalah bukti karya layak untuk dinikmati. ”Bisa menjadi ukuran penilaian diri, meskipun saya berkarya murni karena kondisi yang dilihat sehari-hari, bukan karena mengejar penghargaan tersebut,” bebernya.
Saat ini, Djoko juga aktif di Kelompok Kartunis Kaliwungu (Kokkang) Kendal, Jawa Tengah dan menjadi salah satu pengurus Yayasan Pensil Emas Indonesia atau yang dikenal dengan nama Gold Pencil Indonesia. Dia juga menjadi pengajar ekstrakurikuler kartun di SMA 1 Kaliwungu, Kendal.
”Kami selalu melakukan pembelajaran bersama tentang kartun,” ujarnya.
Untuk diketahui, Anugerah Jurnalistik Adinegoro diberikan setiap tahun oleh PWI dalam rangka penyelenggaraan Hari Pers Nasional. Nama Anugerah Adinegoro mengabadikan nama tokoh pers nasional Djamaludin Adinegoro (14 Agustus 1904 – 8 Januari 1967). Adinegoro semasa muda mengenyam pendidikan jurnalistik di Munchen (Jerman) dan Amsterdam (Belanda), kemudian kembali ke Tanah Air pada tahun1931 serta menjadi Pemimpin Redaksi Pandji Poestaka dan kemudian Pemimpin Redaksi Pewarta Deli. Pada tahun 1951 Adinegoro ikut berperan dalam pengambilalihan pimpinan bekas kantor berita Belanda (Aneta), yang kemudian diubah menjadi Pers Biro Indonesia-Aneta (PIA). Presiden Soekarno pada 1962 menyatukan Kantor Berita Antara dan PIA menjadi Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Adinegoro hingga akhir hayatnya bekerja di lembaga ini. (Aristya Kusuma Verdana-41/SuaraMerdeka)