Apa dan Siapa : HM Kadrie Oening di luar Kedudukannya Sebagai Walikota

Kamis, 4 Februari 2021 | 6:55 pm | 252 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

 

            SEBELUM saya melanjutkan uraian ini, lebih dulu perlu dijelaskan, bahwa H.M Kadrie Oening mengakhiri masa jabatannya yang kedua sebagai walikota Samarinda, bukan dalam tahun 1979, sebagaimana diterangkan dalam tulisan terdahulu, melainkan pada bulan Februari tahun 1980.

Dengan demikian, seluruhnya 12 tahun 3 bulan lamanya (sejak November 1967) dia (HM Kadrie Oening) memegang pimpinan pemerintah Kotamadya Samarinda, sebelum ia menyerah-terimakannya kepada penggantinya : Drs. H Anang Hasyim.

Dan dengan “mewariskan” Samarinda yang minimal tidak lagi “berwajah buruk”, di samping areal kota yang jauh lebih luas daripada sewaktu dia memulai jabatannya sebagai walikota yang pada waktu itu masih “sejumput”.

Walikota Samarinda HM Kadrie Oening mengajak anggota DPRD Komas (Kotamadya Samarinda) meninjau rencana pembuatan badan jalan untuk pengembangkan kota Samarinda. Foto ist/koleksi Akhmad Zailani

            Untuk segala keberhasilannya itu. Di samping yang gagal atau yang setengah gagal. Walikota Kadrie Oening tidak jarang mengalami hambatan dalam mencapainya. Antara lain, dalam pembebasan tanah milik rakyat untuk keperluan perluasan kota, misalnya tidak sedikit penduduk yang merasa dirugikan. Karena pembayaran ganti rugi dinilainya “tidak sepadan”. Bahkan sampai ditangani oleh pengadilan untuk menyelesaikannya.  kKarena pengaduan fihak yang merasa dirugikan.

            Namun seingat kita, boleh dikatakan setiap kasus yang menyangkut masalah tanah yang sampai menjadi urusan pengadilan itu, selalu dimenangkan oleh pihak Pemda Kotamadya.

            Selama dia dua belas tahun lebih menjadi walikota Samarinda, memang tidak seluruh warga kota yang senang terhadap Kadrie Oening. Orang-orang yang merasa dirugikan sebagai akibat dari kebijaksanaan maupun tindakan tegas dari Kadrie Oening dalam rangka usahanya meremajakan, membangun dan memperluas areal kota ; (katakanlah membangun Samarinda Baru) .

Ada yang marah. Bahkan  ada yang “mencaci-makinya”. Namun hanya di belakang saja. Kita katakan demikian, sebab kalau sudah berhadap-hadapan, suara-suara yang tadinya seolah “menyeramkan” itu tidak terdengar lagi. Meski bagaimana “jago” – orang yang bersangkutan.

            Sehingga kenyataan ini menimbulkan banyak dugaan atau pendapat di kalangan masyarakat, bahwa Kadrie Oening mempunyai semacam “ilmu” yang dapat meredam kemarahan orang kepadanya, bila mana sudah berhadapan muka. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa meskipun semasa sedang gencar-gencarnya kecaman bahkan ancaman terhadap dirinya dari orang-orang yang tidak menyenanginya.

Namun Kadrie Oening di luar jam dinas, di pagi sekali  maupun larut malam, sering berjalan sendirian (tegasnya tanpa pengawal seorangpun) sampai ke kampung-kampung dipinggir kota.

Sifat penakut, rupanya tidak ada sedikitpun melekat pada dirinya, terutama berkat kepercayaannya yang sangat mendalam bahwa tanpa izin Allah SWT, tidak siapa pun dapat mencederainya.

            Ada “kelemahan” yang dimiliki Kadrie Oening, yakni bahwa dia kalau berbicara meskipun dalam upacara-upacara resmi banyak orang yang “mengharitakan”. Baik mengenai isi pembicaraannya dan sistimatikanya, maupun dalam caranya berbicara (yakni kalau tanpa teks). Sebab dia bukan seorang pembicara yang baik, melainkan seorang pekerja, dan pekerja yang senang turun ke lapangan. Tetapi justru sebagai “pekerja lapangan” inilah, kiranya yang merupakan salah satu factor pendukung dari keberhasilannya membangun Samarinda Baru, dan yang menyebabkan Kadrie Oening sebagai walikota pantas digelari “ Bapak Pembangunan Samarinda” sebagaimana dikemukakan dalam tulisan kita sebelumnya.

            Apa yang lebih banyak orang mungkin tidak mengetahuinya bahwa Kadrie Oening adalah seorang pelukis dan juga penyair (sastrawan). Namun bakat kepelukisannya, sesudah tuanya tidak dikembangkannya. Tetapi sebagai penyair, meskipun sesudah menjadi walikota sekali-sekali masih menonjol.

Meskipun kiprah sebagai tidak sesering Drs. H.Achmad Dachlan misalnya (mantan Bupati KDH Kutai, dalam dua masa jabatan juga dari akhhir tahun 1965 s/d awal 1979), yang jiwa kesastrawanannya tetap atau sering menonjol, sampai sesudah tidak lagi berdomisili di Tenggarong.

HM Kadrie Oening dan Achmad Dachlan sama-sama bersekolah di HIS Samarinda. Achmad Dachlan lebih dulu berpulang Ke Rahmatullah bulan Juli 1986 lalu, sewaktu menjadi anggota DPR.  Achmad Dachlan adalah adik kelas (2 tingkat) dari Kadrie Oening.

            Selain itu Kadrie Oening adalah juga seorang olahragawan, terutama pemain sepak bola. Meskipun tidak pernah mencapai tingkat sebagai pemain BOND Samarinda (Persisam), seperti misalnya Asnawi Arbain yang mantan Bupati Bulungan dan Walikota Balikpapan.

            Tetapi perhatiannya terhadap kemajuan persepakbolaan dan olah raga pada umumnya di Kaltim sangat besar. Saat Kadrie Oening tidak lagi menjadi Walikota, dia pernah selama-beberapa tahun diserahi jabatan sebagai Ketua KONI daerah Kaltim. Berhasilnya Kontingen PON kaltim meraih 8 medali emas dalam PON ke-XI tahun 1985, adalah sewaktu KONI Kaltim di pimpin  Kadrie Oening.

            Yang tidak kurang pentingnya dikemukakan adalah Kadrie Oening semasa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan turut menceburkan diri dalam kancah perjuangan. Sehingga dia seperti juga Asnawi Arbain dan Achmad Dachlan sebagai sesama putra daerah, dan sama-sama pernah menjadi kepala daerah Tk.II di Kaltim mendapat pengakuan resmi sebagai veteran pejuang kemerdekaan (Asnawi Arbain, malah memperoleh Bintang Gerilya).

            Dan sampai saat meninggalnya Kadrioe Oening sebagai eksponon angkatan 45, dia duduk dalam Dewan Harian Daerah Angkatan 45 propinsi Kaltim. Walhasil, sampai di usia senjanya jiwa pengabdian untuk masyarakat Kaltim, tidak kunjung mengendor, meskipun tidak lagi menjadi “orang pemerintahan”.

Kenyataannya bahwa 4 Gubernur se-Kalimantan yang pada hari meninggalnya M. Kadrie Oening, terkumpul di Balikpapan memerlukan terbang ke Samarinda untuk melayat di rumah duka yang terletak di Sempaja (dimana sudah berkumpul ribuan orang dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk pada pejabat pemerintah Daerah Tk.I Kaltim dan Tk.II Kodya Samarinda, juga dari Tenggarong dan Balikpapan).

Sungguh merupakan suatu penghargaan besar untuk almarhum. Dan “peristiwa langka” tersebut meskipun secara kebetulan dapat dikatakan suatu “keistimewaan” dalam upacara pelepasan jenazah almarhum dalam perjalanannya menuju dan memasuki alam Barzah, sesuai dengan kedudukannya semasa hidupnya yang pernah tampil sebagai Walikota yang berprestasi “istimewa”.

            Secara kebetulan juga hari berpulangnya Kadrie Oening ke-Rahmatullah dalam usia 66 tahun pada tanggal 6 bulan 6 tahun 1989 itu, tiga hari sesudah kota Samarinda menerima penghargaan Adipura dari Presiden. (Dan Samarinda adalah satu satunya kota di seluruh Kalimantan yang mendapat penghargaan  “Istimewa” tersebut pada tahun 1989 ini).

            Seandainya suami seorang istri, ayah seorang anak (putri) dan kakek seorang cucu (putra) itu yang pada waktu itu sudah terbaring di rumah sakit A.Wahab Sjahranie (nama yang selama 10 tahun lebih pernah seolah-olah “dua serangkai” dengan namanya) sempat mendengar berita gembira tersebut dapat kiranya dipastikan bahwa dia merasa sangat puas menyambutnya.

            Tidak saja karena situasi dan kondisi Kota Samarinda yang mengantarkannya, kepada penganugrahan Adipura itu, adalah hasil dari “rintisan”nya. Tetapi juga karena Drs. H Waris Husain yang sekarang menjadi walikotanya, adalah mantan (salah seorang) anak buahnya. Bahkan dapat dikatakan sebagai “anak didik”nya, sewaktu H.M Kadrie Oening menjadi walikota Samarinda dari bulan November 1967 s/d bulan Februari 1980.

Samarinda, 3 Juni 1989

Penulis : Oemar Dachlan

Editor : Akhmad Zailani

Foto : HM Kadrie Oening, Walikota Samarinda bersama istri/ist

 

Related Post