# Akhmad Zailani
MALAM itu. Saya lupa persis bulannya, di akhir-akhir tahun 1998.
Kantor koran harian Suara Kaltim sedang sepi.
Hari Sabtu saat itu tidak ada wartawan yang ke kantor. Karena hari Minggu koran Suara Kaltim kala itu tidak terbit.
Saya memutar-mutar nomor telepon kantor, dengan kode wilayah 021. Jakarta. ‘’Assalammu alaikum, pak Dawan ada? ‘’
Suara renyah wanita muda menjawab; “Ada. Dari mana?”. ‘
’Saya wartawan dari koran Suara Kaltim. Mau wawancara, ’’ saya memperkenalkan diri.
‘’Sebentar. Bapak tadi salat isya. Biasanya Bapak setelah salat magrib tidak keluar kamar sampai selesai salat isya,’’ katanya.
Malam itu bukan pertama kali saya menelpon Dawam Rahardjo. Saya ingin konfirmasi berita-berita tentang Partai Amanat Nasional (PAN) Kaltim, yang sedang berkonflik antara Syamsu Agang dengan dr Agus Sukaca, setelah PAN di deklarasikan tanggal 23 Agustus 1998 di Jakarta.
Sebenarnya bukan hanya nomor telpon Dawam Rahardjo saja, yang diberikan teman dari PAN kubu dr Agus Sukaca, ada pula nomor telepon Amien Rais, AM Fatwa, Zulkifli Hasan dan Faisal Basri. Karena yang lain sulit dihubungi, juga karena “bukan kubu” Agus Sukaca.
Jujur saat itu, saya sebenarnya bukanlah wartawan yang independen. Saya wartawan bidang politik dan pemerintahah yang berpihak.
Sebelumnya saya cukup akrab dengan Syamsu Agang. Sesekali saya ke rumahnya untuk wawancara. Selain saya, ada pula seorang wartawan harian lain yang sering ke rumah mantan dosen Fisipol Unmul tersebut.
Awal-awal PAN terbentuk, saya belum kenal Agus Sukaca dan lebih kenal Syamsu Agang. Syamsu Agang minta saya untuk membantu dia dalam pemberitaan. Boleh dikata, dia minta saya untuk menjadi tim suksesnya. Syamsu Agang ingin menjadi Ketua DPW PAN Kaltim. Saya menulis banyak tentang Syamsu Agang dan PAN Kaltim.
Jauh sebelumnya saya juga memberitakan, tentang Partai Bhineka Tunggal Ika dan Syamsu Agang adalah ketuanya. Menurut saya, dalam sejarahnya setelah reformasi, Partai Bhineka Tunggal Ika adalah parpol yang pertama kali dibentuk di Kaltim , selain dari 3 parpol yang sudah ada, yakni Golkar, PDIP dan PPP. Dan Syamsu Agang adalah Ketua parpol baru yang pertama kali berdiri di Kaltim setelah reformasi. Walaupun setelah deklarasi di ruangan hotel Mesra, Partai Bhineka Tungga Ika tidak jelas kelanjutannya.
***
MASIH di tahun 1998.
Entah, kenapa malam itu saat ke rumah Syamsu Agang, beliau marah-marah ke saya. Soal pemberitaan tentang dirinya, yang saya tulis. Beliau menuduh saya, sengaja menulis demikian untuk menjatuhkannya.
Karena tudingan beliau tidak benar, saya membantahnya. Saya juga menjelaskan, berita yang saya tulis itu hanya berita biasa. Tapi malam itu, beliau tidak terima. Saya benar-benar tidak mengerti. Tidak seperti biasanya.
Level marahnya terus meningkat hingga seperti di luar kontrol. Beliau mengancam. Saya tersinggung. Hingga ke perdebatan yang tidak perlu. Di antaranya beliau mengatakan ;” kasihan kamu! Kamu kan belum menikah kalau terjadi apa-apa!”
Emosi tidak terkendali. Tidak ada yang menenangkan atau melerai pertengkaran malam itu. Saya biasanya jarang marah. Tapi malam itu untuk menghentikan beliau yang terus memarahi saya, lagian percuma saya menjelaskan, bahwa orang tua saya juga tak berkata macam-macam seperti itu, maka sebelum pulang, saya balik mengancam ; “ kalau saya bakar rumah ini, malam ini juga,’’. Baru Syamsu Agang terdiam.
***
SELANJUTNYA, saya benar-benar menulis “berita buruk” untuk PAN Kaltim kubu Syamsu Agang. Berhari-hari. Sampai pernah, mantan aktifis 98, yang akan mengadakan seminar yang menghadirkan Syamsu Agang sebagai nara sumber meminta saya untuk tidak hadir meliput acara. Menurut dia, bila saya datang meliput seminar, maka Syamsu Agang akan keluar ruangan, pulang. Kepada mantan Ketua Senat Unmul itu, saya tidak janji untuk tidak datang. Saya juga mengingatkan jangan seperti itu, mengekang kebebasan wartawan. Saya mengatakan, boleh saja bila panitia tidak mengnginkan saya yang hadir, tapi jangan melarang saya untuk tidak menulis tentang seminar itu dari versi yang lain, walaupun saya tidak datang. Dia pulang.
Besoknya, saya pun ingin membuktikan, apa benar yang disampaikan Syamsu Agang.
Di hotel Senyiur, saat seminar setengah berjalan, saya melihat Syamsu Agang bersama nara sumber lainnya. Saya berdiri persis di depan pintu. Entah mungkin karena memang ingin berhenti, Syamsu Agang lantas beranjak ingin pulang. Panitia yang melihat saya, memohon, agar saya segera meninggalkan acara seminarSoal liputan seminar terserah, boleh diberitakan atau tidak ditulis.
Besoknya saya tulis atau beritakan. Isinya, tentu saja “berita miring” atau istilah sekarang “membully” Syamsu Agang.
Intimidasi dalam meliput kegiatan PAN juga juga saya rasakan, saat menunggu kedatangan Amien Rais di Bandara Temindung Samarinda. Kader PAN, berpakaian taekwondo dan berbaris panjang berjaga-jaga, di muut masuk bandara Temmindung.
Tapi saya datang, dengan tustel. Seorang bertubuh besar, sepertinya pegulat mendekati saya. Sepertinya saya mengenalnya, saat di Berau. Saya tersenyum tapi muka dia tegang. Dia menyampaikan pesan dari Syamsu Agang. Mereka diminta mengusir bila saya datang meliput berita. wartawan lain dibolehkan. Saya mengucapkan teritama kasih, dia telah mengingatkan saya. tapi saya tidak ingin pulang. Saat itu, saya juga ingin menunjukkan gertakan, yang saya takuti dan turuti hanya orang tua, selain Allah SWT. Dia juga menyampaikan, orang-orang (dari kubu PAN Syamsu Agang) marah besar kepada saya. Dia tidak tahu, saya tentu saja tidak ingin lari, hanya ada 2 pisau panjang di pinggang kiri dan kanan saya, yang tertutup jaket.
Begitulah. Berhari-hari. Siapapun mungkin akan merasa “gila”. Koran isi berita jelek harusnya dicampakkan atau tidak dibaca, tapi malah rasa penasaran dan ingin tahu mengalahkan, sehingga terus mencari dan membaca, itu lah yang mungkin membuat stres.
***
BADAI bisa pula reda. Hingga akhirnya, ketika pengurus PAN berkumpul di rumah Komariah atau ibu Komai, Syamsu Agang menelpon saya. Entah dia tahu dari mana nomor telepon Ibu Komai. Saat itu, Syamsu Agang sengaja ingin berbicara dengan saya. Dia menyampaikan permintaan maaf. Saya pun meminta maaf. Kami malam itu berdamai.
***
NAMUN dualisme PAN Kaltim tidak berhenti. Terus berlanjut. Saya yang dulunya pro ke Syamsu Agang, yang ketika itu didukung tokoh-tokoh aktivis dan mahasiswa, akhirnya lebih berat sebelah ke kubu Agus Sukaca, yang kebanyakan dari aktifis Muhammadiyah. Saya lebih banyak mendapat berita dan memberitakan “berita melawankan” untuk ke PAN kubu Agus Sukaca.
Dukungan berita-berita di 2 koran harian lokal, hari-hari “hanya begitu-begitu saja”. Yang satu mendukung kubu PAN Syamsu Agang, koran harian yang satunya mendukung PAN Kaltim Agus Sukaca. Hanya ada 2 koran harian lokal saat itu di Kaltim, dan jelas terlihat arah dukungannya. Tidak independen dan berpihak! Karena kedekatan wartawannya dan “permusuhan” wartawan satunya.
Lobi-lobi pengurus DPW PAN Kaltim dari dua kubu tidak terlihat. Tapi lobi ke DPP PAN dari kubu Syamsu Agang lebih maju beberapa langkah dari kubu Agus Sukaca, sehingga Syamsu Agang beserta kepengurusan sempat dikukuhkan langsung oleh Ketua DPP Amien Rais di parkiran GOR Segiri Samarinda. Syamsu Agang sempat mencarter pesawat dari Sepinggan Balikpapan ke bandara Temindung untuk membawa Amien Rais.
Saya masih ingat, bila kubu Syamsu Agang bergembira dengan acara pengukuhan kepengurusan DPW PAN Kaltim, berbeda dengan kubu Agus Sukaca yang nampak bersedih.
Di ruko H Thalib jalan Panglima Batur, sejumlah pengurus DPW PAN Kaltim, selain Agus Sukaca, H Zainal Muttaqim, juga ada Andi Harun, dr Syaiful Anwar, H Lalu Thamrin, Yayan Aliansyah juga tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, nampak lesu. Saya sempat meminta mereka untuk berfoto. Untuk memberi semangat, atau sedikit motivasi, kepada seorang di antaranya, saya sempat mengatakan, sekalipun sudah dikukuhkan, tapi bukankah SK kepegurusan dari DPP PAN belum ada. Harus ada di antara pengurus yang terus berupaya melobi pengurus DPP PAN di Jakarta, hingga kepengurusan DPW PAN Kaltim yang resmi benar-benar terbentuk.
***
KARENA terus menelpon Dawan Rahardjo, tagihan telpon kantor pun membengkak. Saya lupa, saat itu berapa bayarnya per bulan. Namun berkali-kali lipat dari tagihan seperti biasanya. Hingga saat rapat redaksi, pemimpin redaksi H Tatang Dino Hero sempat marah-marah kepada semua wartawan, agar kalau wawancara jangan melalui telepon. Temui langsung sumber berita. Tatang juga menyampaikan, dari tagihan telepon yang dilihat, ada wartawan atau karyawan yang sering interlokal. Karena tagihan beberapa bulan terakhir naik terus.
Dari Dawam Rahardjo saya mengetahui perkembangan DPP PAN. Saya juga bisa wawancara tokoh-tokoh PAN lainnya, untuk berita-berita nasional melalui Dawam Rahardja. Seperti AM Fatwa dan Amien Rais.
Dawan juga suka berdiskusi dengan saya. Dia juga perlu tahu perkembangan PAN di daerah-daerah, termasuk di Kaltim. Bahkan sesekali berdiskusi ke hal-hal lain. Saya tidak hanya bertanya, atau memancing-mancing pendapat, tapi juga “mencoba mempengaruhi”. Tak hanya Dawam, tapi juga pengurus lainnya. Saya tidak pernah mencoba menghubungi Faisal Basri, karena dia lebih pro ke Syamsu Agang. Ke Dawam dan pengurus DPP PAN, saya tentu saja menyampaikan berita-berita “miring sebelah” lebih pro DPW PAN Kaltim kubu Agus Sukaca. Bahkan saat rapat DPP PAN pun, bahwa beliau sengaja membuka telepon agar bisa saya dengar langsung. Saya juga sempat mendengar, Pak Dawam menyebutkan, itu suara gelas pecah yang dilempar dan lain-lain.
Bukan hanya Dawam, bahkan suara wanita muda, yang saat itu mengaku keponakan Dawam juga mulai kenal dengan suara saya yang berkali-kali menelpon. ” Mas Jay ya …”. sambil menunggu pak Dawam, saya ngobrol hal yang ringan-ringan.
Waktu terus berjalan. Hingga akhirnya, kubu Agus Sukaca mendapat SK Kepengurusan DPW PAN Kaltim. Saat itu Syamsu Agang yang sudah dikukuhkan, ternyata gagal mendapatkan SK kepengurusan.
***
KETIKA konflik PAN di daerah-daerah termasuk Kaltim sudah reda, setelah Pemilu di bulan Juni 1999, Pak Dawam Rahardjo sempat beberapa kali ke Samarinda dan Balikpapan.
Saat beliau pertama kali ke Samarinda, salah seorang pengurus PAN Kaltim mengatakan, Pak Dawam mencari saya. Saya saat itu memang jarang diundang langsung oleh pengurus PAN Kaltim bila ada kegiatan. Saya juga mulai jarang menulis tentang kegiatan-kegiatan seremonial PAN Kaltim. Ketika konflik PAN kaltim berakhir, saya sibuk dengan kegiatan jurnalistik yang lain.
Saya memang hanya mengenal Dawam Rahardjo melalui telepon. Bercakap-cakap berbulan-bulan. Tidak ketemu dan saling tatap muka. Bagi saya Dawam sangat berjasa dalam pembentukan PAN Kaltim khususnya versi Agus Sukaca, kala itu. Dia membantu. Diakuinya kepengurusan PAN Kaltim yang diketua dr Agus Sukaca tentu saja mengikut ke bawah ke kubu hin yang pro PAN Agus Sukaca hingga ke DPD PAN kabupaten dan kota lainnya. Turunannya mungkin hingga kepengurusan PAN Kaltim yang terbentuk sekarang ini, walaupun tidak lagi didominasi “orang-orang Muhammadiyah”.
Begitulah, cerita tentang keterkaitan saya dengan Dawam Rahadjo, dan sejarah terbentuknya DPW PAN Kaltim pertama kali di awal reformasi.
Kini Dawam Rahardjo, yang diberhentikan dari kepengurusan Muhammadiyah secara tidak langsung itu karena lebih membela Ahmadiyah itu telah pergi. Profesor yang dikenal sebagai ahli ekonomi, pengusaha, budayawan, cendekiawan, juga aktifis LSM, pemikir islam dan juga penafsir itu telah pergi. Dia meninggal Rabu malam, 30 Mei 2018, pukul 21.55 WIB. Ia mengembuskan napas terakhir setelah sempat dirawat selama 20 hari di ruangan Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Pejuang kesetaraan dan pluralisme itu mengalami sakit diabetes, jantung, dan stroke.
Pria yang lahir di Solo, Jawa Tengah pada 20 April 1942 dimakamkan di Kalibata, Kamis 31 Mei 2018, setelah zhuhur.
Selamat jalan prof Dawam Rahadjo ….
BACA JUGA Dawam Rahardjo Meninggal, Indonesia Kehilangan Pembela Minoritas
*foto tempo.co