Mengapa Menolak Istilah Kafir

Rabu, 6 Maret 2019 | 6:04 am | 316 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

 

Tugas dan kewajiban Muslim meyakini kitab sucinya. Meyakini ini dijamin dalam konstitusi di Indonesia

Terkait

Oleh: Ali Akbar bin Aqil

SALAH satu yang menolak kehadiran Ustad Abdul Somad adalah Pariyadi alias Gusyadi, pemimpin Pondok Pesantren Soko Tunggal Abdurrahman Wahid 3 Bali.

Menurutnya, UAS ditolak masuk Bali karena penceramah asal Riau itu selalu menyebut kafir kepada yang tidak seiman.

Kata Kafir bukan kata asing bagi umat Islam. Kita sudah sangat akrab dengan kata yang satu ini. Hampir setiap membaca Al-Quran kata ini terucap, sebab memang tercantum di dalamnya.

Kafir dalam bahasa Arab: ﻛﺎﻓﺮ kafir adalah bentuk Jamak ﻛﻔﺎﺭ / kuffar, yang berasal dari kata kufur (inkar, menolak, menutup dan menyembunyikan sesuatu)., atau menyembunyikan kebaikan yang telah diterima atau mengingkari kebenaran

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Zâd al-Ma’âd (3/145)  membagi  orang kafir terbagi menjadi tiga golongan: Kafir Harbi(yang boleh diperangi, terutama yang memusuhi dan menyerang kaum Muslim), Ahlu al-‘ahd (Kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslim), dan Ahlu adzDzimmah (Kafir Dzimmi atau yang tidak memusuhi Muslim)

Kafir Harbi menurut Al-Quran adalah orang kafir yang memerangi Allah danRasulullah dengan berbuat makar di atas muka bumi. (QS. Muhammad: 4). Mereka adalah kaum kafir yang boleh diperangi karena menampakkan permusuhan terhadap kaum Muslim.

Sementara orang yang tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi atau berperang, seperti wanita, anak-anak, rahib-rahib, orang tua renta, buta dan lumpuh serta sejenisnya, mereka ini tidak boleh dibunuh menurut jumhur ulama, kecuali jika mereka ikut andil dalam peperangan.

Kafir Harbi masih dibagi menjadi dua yaitu yang minta suaka atau perlindungan keamanan (al-musta`min) dan yang memiliki perjanjian damai yang disepakati (al-mu’âhad).

Kafir Mu‘ahad adalah orang kafir yang tinggal di negeri kafir, tapi memiliki pernjajian damai dengan Negara Islam. Mereka berhak mendapatkan pelaksanaan perjanjian dari kita dalam waktu yang sudah disepakati, selama mereka tetap berpegang pada janji mereka tanpa menyalahinya sedikitpun, tidak membantu musuh yang menyerang kita serta tidak mencela agama kita

Golongan Ahlus adz Dzimmah  paling banyak memiliki hak atas kaum Muslimin dibandingkan dengan golongan sebelumnya. Karena mereka hidup di negara Islam dan di bawah perlindungan dan penjagaan kaum Muslimin dengan sebab jizyah yang mereka bayarkan.

Al-Quran menyebut kata kafir dalam berbagai derivasinya dan disebut sebanyak 525 kali. Lagi pula, istilah kafir, adalah istilah hanya umat Islam saja. Seperti halnya umat lain yang punya istilah sama. Orang Kristen juga berkeyakinan, selain memeluk agamanya, dianggap ‘domba sesat’. Sementara orang Yahudi menganggap pemeluk agama lain yang tak menghimani Yahudi disebut ‘goyim’. Orang Hindu menyebut orang yang mengimani selain Hindu, disebut maitrah. Jadi apa masalahnya kok sekarang yang dipermasalahkan urusan keimanan orang Muslim?

Oleh sebab itu, tugas dan kewajiban umat Islam untuk meyakini kitab sucinya. Sikap demikian juga dijamin dalam konstitusi di Indonesia, untuk menjalankan agama sesuai keyakinannya.

Secara bahasa, kafir artinya orang yang mengingkari sesuatu, atau orang yang menolak sesuatu. Kata ini bisa digunakan sebagai ungkapan orang yang melupakan nikmat Allah ta’ala, menjadi lawan kata Asy-Syaakir (orang yang bersyukur).

Dari sudut pandang Syariat Islam, kafir adalah sebuah istilah untuk menunjukkan sikap penentangan terhadap ajaran tauhid, kenabian, dan hal-hal yang terkait dengan Hari Akhir.

Jika seseorang, apapun agama dan keyakinaannya, bertentangan dengan seruan tauhid (mengesakan Allah ta’ala), mengingkari risalah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallamdalam hal sekecil apapun itu, atau tidak percaya dengan Hari Akhir, maka ia termasuk Kafir.

Dari sini, kata kafir mencakup beberapa kelompok dalam tubuh umat manusia:

  1. Mulhid. Yakni seseorang yang tidak mengakui adanya Tuhan (Atheis)
  2. Musyrik. Yakni seseorang yang menyekutukan Allah ta’ala dalam ibadah yang dikerjakannya. Ia mengakui adanya Allah ta’ala namun ia menduakanNya.
  3. Watsaniy. Istilah ini diambil dari kata watsan (berhala). Watsani artinya penyembah berhala. Maksudnya adalah seseorang yang menyembah kepada selain Allah ta’ala.
  4. Seseorang yang mengingkari kenabian atau risalah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.
  5. Seseorang yang tidak mengakui kewajiban salah satu syariat Islam seperti salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.

Dari sini kita bisa sedikit mengambil kesimpulan, ketika seorang ulama menyatakan bahwa di luar Islam adalah kafir, ia tidak sedang menghina pribadinya, tapi perbuatannya yang memyembah bukan kepada Allah ta’ala.

Kata kafir yang dilontarkan bukan untuk memecah belah persatuan bangsa dan NKRI, tapi sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk menjelaskan kepada umat tentang bagaimana Allah ta’ala memberikan “stigma” terhadap mereka yang berada di luar Islam, sebagaimana mereka pun memiliki istilah untuk golongan di luar agama mereka.

Oleh sebab itu, tidak yang salah dengan apa yang disampaikan oleh UAS, yang dijadikan bahan penolakan oleh Gusyadi terhadap kedatangannya. Justru Gusyadi perlu membuka kembali Al-Quran agar ia tahu siapa yang dimaksudkan oleh Allah ta’ala sebagai orang kafir itu. Wallaahu a’lam bis showaab.*

Penulis pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang. Pengasuh Grup Qolbun Salim/hidayatullah.com

BACA JUGA :  Masalah Kafir dan Kewarganegaraan

Related Post