Oleh: Azhar Rasyid, penilik sejarah Islam
Suara Kaltim– Mulai dari kebab Turki yang merupakan salah satu fast food ternama di seantero bumi hingga rendang dari Sumatra Barat yang diberi gelar makanan terenak di dunia versi CNN, kuliner dari negeri-negeri Muslim tampaknya merupakan bintang baru dalam beberapa dekade terakhir. Para turis kini dengan mudah bisa menemukan restoran berlabel halal di negara-negara yang penduduknya mayoritas non-Muslim di Asia Timur, Eropa hingga Amerika Serikat (AS).
Apakah fenomena mengglobalnya kuliner Muslim ini adalah fenomena baru? Bagaimana sebenarnya jejak kuliner Islam di masa lalu dan dinamikanya hingga kini?
Orang Arab di zaman Nabi Muhammad hidup di zaman ketika bahan pangan dan lauk pauk jarang didapat. Kondisi geografis berupa gurun tidak memungkinkan surplus makanan.
Adakalanya selama berhari-hari mereka hanya memakan kurma dan air. Nabi Muhammad sendiri sangat jarang melihat roti putih. Tak heran bila dalam berbagai hadits, Nabi menekankan tentang perlunya bersikap hemat dengan makanan.
Orang Arab mengolah gandum secara minimal, dengan hanya menambahkan sedikit garam atau bumbu lainnya. Nabi Muhammad, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas, bahkan pernah bersabda, “Garam adalah bagian penting dari makananmu”. Pendeknya, orang Arab kala itu, kata sejarawan David Waines (2011) tidak punya keragaman dalam hal makanan.
Kuliner Arab
Masyarakat Arab-Muslim baru mengenal diversifikasi makanan ketika Islam tersebar ke luar jazirah Arab. Kontak dengan daerah-daerah baru memungkinkan terjadinya pertukaran bahan makanan.
Kemunculan kota dan kian intensifnya sarana transportasi mempercepat percampuran elemen baru dalam tradisi makanan Arab. Buah anggur dan zaitun adalah dua makanan penting yang masuk ke kuliner Arab sejak abad ke-7 M.
Kekhalifahan Islam di luar Hijaz menjadi tempat di mana tradisi kuliner baru ini berkembang. Kekhalifahan Abbasiyah di Irak tidak hanya berhasil memajukan ilmu pengetahuan, tapi juga menginisiasi tradisi kuliner Islam yang bersifat global.
Seni tata boga lahir di tengah para bangsawan Abbasiyah dan ini diabadikan pula dalam bentuk buku masakan. Bahan makanan yang dipakai kian beragam, adakalanya berharga mahal karena diperoleh dari tempat yang jauh.
Sementara itu, proses membuat makanan juga tidak cukup hanya dengan menabur garam saja, tapi sudah sampai level yang rumit. Makanan sudah bukan lagi kebutuhan untuk bertahan hidup, namun sudah menjelma menjadi gaya hidup tersendiri bagi kaum elite.
Di masa klasik dan pertengahan Islam inilah muncul tradisi kuliner Muslim, yang elemen-elemennya melintasi batas geografis atau etnis, namun tetap dibatasi oleh satu aspek: halal. Bahan makanan Arab hanya salah satu unsur pembentuknya.
Roti ala Arab tidak lagi cuma diberi bumbu, tapi juga dipadukan dengan kaldu dan daging. Ini dikenal dengan nama tharīd.
Versi lebih kompleksnya adalah dengan memadukan roti dengan truffle (sejenis jamur), madu, kacang polong, serta daun bawang. Ada lima jenis bumbu yang setidaknya harus ditambahkan untuk membuatnya siap dihidangkan.
Di sisi lain, sebagaimana dikemukakan oleh Waines (2011), ada tiga elemen lokal yang berperan membentuk kuliner Muslim di masa kekhalifahan Islam. Persia antara lain menyumbangkan isfānākh (bayam), India membawa terong, sementara Yunani mengirimkan selada.
Karakter lain dari kuliner Muslim tampak di era Turki Usmani (1299-1923). Kuliner Usmani mendapat pengaruh besar dari kuliner Seljuk, kemaharajaan besar Islam di Asia Tengah pada abad ke-11 M.
Orang Seljuk yang baru memeluk Islam berhenti memakan daging hewan yang dilarang oleh ajaran Islam dan kian banyak mengonsumsi daging ayam, daging domba, olahan tepung, dan mentega.
Adapun di masa Turki Usmani, selain mengadopsi kuliner Seljuk, sereal dan beras adalah makanan utama penduduknya. Oleh sebab itu, pemerintahan Usmani memberikan perhatian besar untuk menjamin tersedianya stok bahan-bahan pokok ini daerah kekuasaannya.
Bawang prei dan kubis adalah sayur yang lazim dimakan, sementara pir, anggur dan delima adalah buah kesukaan masyarakat Turki. Minyak zaitun dan mentega dipakai untuk memasak (Oğuz Diker, dkk, 2016).
Di level elite, kekhalifahan Usmani bahkan mempunyai buku catatan berisi daftar makanan dan minuman yang disajikan di meja para bangsawannya (Özge Samanci, 2012). Makanan di istana Usmani dimasak di dapur-dapur berbeda sesuai dengan kepada siapa makanan disajikan, misalnya kepada raja, istri-istrinya atau perdana menteri.
Ratusan orang diperkerjakan di dapur guna menyiapkan makanan untuk para penghuni istana. Pekerjaan di dapur kian kompleks dan dibagi berdasarkan fungsi dan keterampilan, mulai dari kepala dapur, pembuat kebab, koki ikan, hingga pembuat kopi.
Sajian istana dinilai oleh para sejarawan sebagai elemen yang penting bagi kesultanan Usmani. Hal itu menunjukkan kebesaran dalam hal kekayaan, kekuasaan, dan tradisi.
Runtuhnya Kesultanan Usmani pada 1923 tidak menghentikan perkembangan kuliner Turki. Memang tidak ada lagi kerajaan yang melestarikan berbagai makanan khas Turki sebagaimana yang dilakukan oleh Kesultanan Usmani.
Namun, sisi baiknya, migrasi besar-besaran orang Turki sebagai pekerja terutama ke Jerman di 1960-an, dan program reunifikasi keluarga di 1970-an, membuat tradisi Turki, termasuk kulinernya, menjadi eksis di luar tanah kelahirannya. Dewasa ini, warung makan Turki, yang menyediakan kebab dan lahmacun (roti tipis bulat berisi daging cincang) sangat mudah ditemukan di Jerman dan Belanda serta Prancis. Kedai Turki merupakan alternatif utama Muslim yang tengah berwisata di negara-negara Eropa.
Di sisi lain, abad ke-20 juga ditandai oleh kolonisasi dan dekolonisasi atas negeri-negeri Afrika dan Asia, termasuk kawasan yang mayoritas berpenduduk Islam seperti Mesir, Malaysia, dan Indonesia. Sebagian warga Muslim tanah jajahan ini bermigrasi ke Eropa dan AS, di mana mereka kemudian membuka warung makan halal.
Di AS kini mungkin tidak ada waralaba makanan halal yang lebih terkenal dibandingkan The Halal Guys (yang menjual gyro, falafel hingga hummus) yang mengklaim membuka segmen baru dalam bisnis restoran di AS: American Halal Food. Di Belanda, rendang dengan mudah ditemukan di berbagai restoran Indonesia.
Kini, rendang bahkan tidak hanya dikenal sebagai makanan khas Indonesia, tapi juga merupakan bagian dari kuliner dunia Muslim. Ini terutama sekali ditunjukkan oleh filosofi di balik rendang di mana salah satu bahan pembuatnya, cabe, merupakan simbol dari alim ulama, yang ‘pedas’ dan tegas dalam menegakkan ajaran agama. (Rol)