Sultan Hamid II tak terbukti di persidangan tapi karena alasan politis harus dihukum di masa revolusi terhadap bangsa yang sedang belajar.
Sistem pengadilan yang digunakan untuk Sultan Hamid II adalah untuk tingkat pertama dan terakhir. Artinya persidangan kasus Sultan Hamid II tersebut merupakan Forum Previlegiatum di Indonesia yang pelaksanaannya pernah diberlakukan pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-undang Dasar Sementara 1950.
Selanjutnya 25 Maret 1953, Jaksa Agung Soeprapto menuntut hukuman 18 tahun penjara bagi Sultan Hamid II. Pada 8 April 1953 karena tidak adanya bukti yang kuat, dakwaan primair daripada dakwaan tersebut, tidak dapat dibuktikan (tidak terbukti), dan Mahkamah Agung Indonesia dengan Ketua yaitu MR Wirjono Prodjodikoro menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun dipotong masa tahanan (3 tahun) dengan dasar pertimbangan, adanya niat Sultan Hamid II menyuruh Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu Dewan Menteri RIS dan menembak mati (membunuh) tiga pejabat pemerintah (Menteri Pertahanan: Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Kementrian Pertahanan: Mr Alibudiardjo, dan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia: Kolonel Simatupang) pada saat itu, yang niat tersebut dibatalkan olehnya.
Kasus Sultan Hamid II ini merupakan kasus pertama kali yang diperiksa oleh Mahkamah Agung dalam tingkat pertama maupun tingkat terakhir di dalam sejarahnya, yaitu kasus pertama dan terakhir.
Landasan Mahkamah Agung untuk memutus kasus Sultan Hamid II pada tahun 1953 adalah KUHP Indonesia, pada dasarnya delik yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II merupakan Delik Terhadap Keamanan Negara (Delik Makar). Delik itu termaktub di Bab I Buku Kedua dari KUHP tersebut.
Akumulasi dari pasal-pasal yang didakwakannya adalah: Pasal; 108 ayat (1) No.2, 108 ayat (2), 110 ayat (2) No. 1, 110 ayat (2) No. 2, 163 bis. Ayat (1) jo pasal 338, 340, 333 jo. Pasal 53 dan 55 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) jo. Staatsblad 1945 No.135, yang menurut Penulis tidak ada satu pasal-pun yang memenuhi unsur delik yang telah diuraikan berdasarkan dakwaan dan putusan.
Dengan melihat data atau dokumen perkara, bahwa yang menjadi pertimbangan hakim serta melalui dasar pengaturan hukum yang mempengaruhi hakim, untuk membuat putusan tersebut yaitu berdasarkan dakwaan dan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Agung terhadap Sultan Hamid II sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Primair, Subsidair, Subsidair, dan Lebih Subsidair Lagi, yaitu dengan menjatuhkan hukuman penjara selama 18 tahun, dipotong dengan waktu selama terdakwa berada dalam tahanan.
Begitu pula dengan pertimbangan atas pembelaan (pleidooi) yang disampaikan oleh Sultan Hamid II dan Pembelanya Mr Surjadi, juga berdasarkan atas pemeriksaan-pemeriksaan atas sidang pengadilan.
Hasil penelitian: dalam kasus Sultan Hamid II, dapat disimpulkan dari pertimbangan hakim di atas berdasarkan berkas putusan mahkamah agung, Penulis melihat pertimbangan hakim tersebut jauh daripada kebenaran fakta kasus yang terungkap, dan terkesan memaksakan penafsiran-penafsiran dari dakwaan yang absurd pada uraian peristiwa yang terungkap, serta relevansinya pada 23 Januari 1950 dan 24 Januari 1950.
Pertimbangan hakim untuk memutus perkara Sultan Hamid II dengan menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, bukan berdasar atas hukum yang berlaku, akan tetapi menurut berdasarkan alasan politis, pun terhadap unsur-unsur pasal yang dituduhkan, melainkan alasan yang kuat adalah pengakuan Sultan Hamid II sendiri yang mengakui telah menerima oppercommando daripada gerakan Westerling, untuk mengadakan persiapan pemberontakan dan penyerbuan rapat dewan menteri RIS pada tanggal 24 Januari 1950, yang tidak jadi dilaksanakan, dan tak terdapat sama sekali peristiwa kejahatan apa pun.
Pada kasusnya di tahun 1950 itu, sebetulnya Sultan Hamid II berhak untuk dianggap “tidak bersalah” sebelum diputus perkaranya melalui sidang pengadilan yang adil, bebas, dan tidak memihak.
Namun, fakta yang dapat dilihat melalui literatur data yang ada, pun begitu dengan pers (media cetak) yang ada kala itu membuktikan bahwa terhadap kasus tersebut, Sultan Hamid II telah dihakimi terlebih dahulu ketika isu pemberontakannya menyebar.
Ia didaulat telah bersalah oleh opini dan statement media yang memberitakan tentang kasusnya tersebut.
Tentunya hal ini dapat mempengaruhi “public opinion” ke arah tertentu, yang mungkin juga akan dapat mempengaruhi hakim. Akan tetapi menurut Penulis hal itu menjadi tidak objektif karena peradilan di Indonesia kala itu sangat dipengaruhi sekali dengan faktor politik Indonesia, tentunya warna yang dibawa peradilan yang masih muda kala itu bercorak politik.
Kemudian faktor keadilan yang perlu juga dinilai dalam peradilan tersebut adalah terlalu lamanya Sultan Hamid II berada dalam tahanan, yaitu 3 tahun tanpa ada kejelasan. Artinya ia telah menderita hukuman 3 tahun penjara, sebelum hukuman yang sah dijatuhkan.
Hal ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada dirinya, di dalam Hukum, kala itu terhadap Hak Tersangka dalam tahap Pra Ajudikasi tentu sangat tidak diperhatikan. Penulis melihat fakta kesalahan serta penyimpangan dalam mengambil keputusan pada saat
Mahkamah Agung Indonesia mengadili dan mengeluarkan vonis hukuman terhadap Sultan Hamid II sebagai terdakwa tuduhan makar (pemimpin atau pengatur), hal ini disebabkan tidak adanya faktor yuridis yang dapat membuktikan bahwa Sultan Hamid II tersebut bersalah secara hukum.
Artinya ada domain hukum yang diintervensi oleh kewenangan politik dalam mengambil sebuah keputusan maupun kebijakan, pun begitu pula dengan situasi di Indonesia ketika itu yang tengah mengalami “konflik politik” atau “konflik ideologi politik”.
Selanjutnya Penulis berpendapat bahwa kesemua tuduhan yang disampaikan terhadap kasus Sultan Hamid II, sebenarnya merupakan sebuah peradilan “politik” untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jelas banyak kecenderungan-kecenderungan yang menyimpang terhadap proses hukum yang dialami Sultan Hamid II, baik dari pemeriksaan maupun pada hasil putusan dengan segala pertimbangan, pun terkait dengan hal-hal yang memberatkan serta meringankan Sultan Hamid II sebagai terdakwa.
Kurangnya proses hukum yang terbuka semakin mempersempit pandangan Penulis melihat awal berjalannya pemeriksaan pendahuluan, yaitu lamanya tuduhan dalam tahanan selama 3 tahun hingga dipindahkannya penahanan karena alasan politis, sampai pemeriksaan kasus tersebut diputuskan oleh Mahkamah Agung dengan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara.
Penulis melihat pertimbangan hakim di dalam putusan yang menyebutkan dasar hukum Mahkamah Agung yang berkuasa untuk memutuskan perkara pidana Sultan Hamid II ini dalam pemeriksaan tingkatan pertama, berdasar atas pasal 148 Konstitusi RIS juncto pasal 106 UUDS RI juncto Undang-undang Darurat 1950 Nomor 29, yang telah menjadi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1951 tanggal 3 Desember 1951 dengan “berlaku surut” sampai tanggal 27 Desember 1949, ini semua berhubung dengan sifat kejahatan-kejahatan yang dituduhkan pada terdakwa dan yang sebagian diancam dengan hukuman mati; hal ini sangat tidak rasional.
Menurut Penulis dengan penggunaan “hukum yang berlaku surut”, kesemua pasal-pasal yang dituduhkan (di dalam KUHP) menyebutkan di bahwa tidak dapat dipidana bila tidak ada perbuatan pidana/kejahatan, artinya Penulis menafsirkan kesemuanya ini merupakan delik selesai/tidak selesai tapi telah dapat dikatakan, perbuatan mengakibatkan sebuah kejahatan, setidaknya kejahatan yang sudah berjalan.
Jelas disebutkan di kalimat terakhir di dalam dakwaan “Lebih Subsidair Lagi” di tuduhan tersebut, akan tetapi kejahatan atau percobaan kejahatan itu, tidak sampai jadi dijalankan. Hal ini membuktikan percobaan perbuatan/niat tersebut tidak dilakukan/dibatalkan sebelum ada peristiwa (tidak ada peristiwa/perbuatan apapun), jadi seharusnya tidak ada percobaan yang dapat dihukum.
Menurut Penulis, kasus Sultan Hamid II merupakan salah satu kasus tuduhan pelanggaran hukum di Indonesia yang sebenarnya tidak termasuk kategori pelanggaran atas Delik Terhadap Keamanan Negara/makar tersebut. Namun oleh pemerintah selaku penguasa politik Indonesia, kepada pelanggar pidana dijerat dan dikenakan dengan isi pasal-pasal perbuatan di mana diatur oleh Bab-I Buku II KUHP tersebut.
Hal ini tentu menimbulkan berbagai polemik di pihak yang pro maupun kontra atas tuduhan kasus ‘Makar’ tersebut. Kesimpulan akhir Penulis bahwa berdasarkan Analisa terhadap “Kasus Sultan Hamid II” daripada data-data yang ada yaitu Berkas Perkara Sultan Hamid II berikut dengan dokumen-dokumen penunjang lainnya, yaitu perbuatan mana yang telah dituduhkan kepada Sultan Hamid II terhadap kasus yang telah disangkakan terhadapnya “Tidak Termasuk” dalam “Kategorisasi/Unsur Delik Terhadap Keamanan Negara/Makar”.
Atas kasusnya tersebut pula Penulis berpendapat Sultan Hamid II sebetulnya “Tidak Terbukti Bersalah” atas tuduhan yang dituduhkan kepadanya. (habis)
Sumber :
Kliping Hanafi Mohan yang pertama kali dimuat dimuat di Harian Equator secara bersambung, dengan judul utama: “Pemulihan Nama Baik Sultan Hamid II”, dengan Sub Judul: 1) “Tesis Anshari Dimyati yang Teruji” (dimuat pada hari Senin, 30 Januari 2012) dan 2) “Tak Terbukti Bersalah di Mata Hukum” (dimuat pada hari Rabu, 1 Februari 2012).