DENGAN terjadinya kebakaran yang memusnahkan 2 tempat hiburan dalam komplek Pinang Babaris, jalan Niaga Timur Samarinda baru-baru ini, — timbul lagi pertanyaan dari mana asalnya nama “Pinang Bebaris” tersebut. Pertanyaan ini kiranya tidak akan timbul, kalau misalnya di pinggir jalan tempat berdirinya kompleks kumuh yang bagian (lantai) atasnya antara lain di “huni” 2 tempat hiburan yang terbakar itu, berdiri (tumbuh) barisan pohon-pohon pinang. Namun kenyataannya tidak ada satu pohon pinang-pun berdiri.
Perlu diterangkan, pada zaman penjajahan Belanda dulu, jalan yang sekarang bernama Jalan Niaga Timur itu, bernama TOKO PANDJANG STRAAT.
Bangunan di kiri kanan jalan tersebut pada bagian depan sebagian besar terdiri dari toko-toko Cina yang menempati petak-petak yang memanjang dari arah pinggir sungai Mahakam menuju ke darat (arah Utara). Di bagian darat (di persimpangan 4 Jalan Mulawarman / jalan Panglima Batur sekarang) berdiri kompleks Sekolah Cina (Tionghoa Hwee Kuan), begitu juga diseberang jalan sekarang berdiri kompleks pertokoan Samarinda Mall.
Ratusan meter ke darat (utara), terbentang jalan-jalan yang bernama SOENGAI PINANG STRAAT, -yang kedua pinggirannya terletak rumah-rumah penduduk. Di zaman kemerdekaan sekarang , jalan tersebut bernama Jalan Imam Bonjol.
Seingat saya, di pinggir Sungai Pinang Straat itu banyak berdiri pohon-pohon pinang itu memang sengaja di tanam oleh penduduk, atau tumbuh dengan sendirinya, –saya tidak tahu. Begitu juga apa sebabnya ditambah kata “Sungai” di depan pinang, tidak jelas bagi saya.
Memang ada waktu itu sungai kecil yang membentang dari jalan sekarang bernama Jalan pangeran Hidayatullah menuju kearah Hulu (barat) sampai di ujung jalan Gajah Mada sekarang. Sungai kecil tersebut, yang bermuara di karang mumus , – melewati ujung (muara) bagian depan Sungai Pinang Straat, lebarnya sekitar 5-6 meter, dan cukup dalam, sehingga setiap air pasang, dapat dilintasi perahu kecil dari muara pinang sampai di hulu, bersambungan dengan jalan yang waktu itu bernama Tandjoengbatoe Straat. Namun seingat saya, tidak pernah ada yang menamai Sungai Pinang. Yang saya ingat, jalan yang dibentangi sungai kecil tersebut, pada waktu itu bernama WILHELMINALAAN.
Nah, kiranya menimbulkan pertanyaan, mengapa sebutan Pinang Babaris di zaman Kemerdekaan sekarang, tidak digunakan saja sebagai nama kompleks perkantoran/pertokoan ( tujuan semula dari dibangunnya) yang dibangun di jalan yang dulu bernama Toko Pandjang Straat (sekarang Jalan Niaga Timur,–yang jaraknya beberapa ratus meter dari Soengai Pinang Straat menuju ke depan (atau ke “laut” sebutannya waktu itu).
Dalam hubungan ini perlu dijelaskan, bahwa kompleks Pinang Babaris itu dibangun pada tahun 1970-an, sewaktu H.M. Kadrie Oening menjadi Walikota Samarinda. Bahkan HM. Kadrie Oening sendiri yang mencetuskan ide untuk membangun kompleks tersebut, yang waktu itu sebagian besar dari lahan (tanah)-nya masih kosong.
Pada zaman penjajahan dulu, pak Oening, orang tua Kadrie, yang bekerja sebagai pandu yang memandu keluar masuk-kapal besar ke-dan dari muara Sungai Mahakam sampai di pelabuhan Samarinda, yang di kalangan masyarakat setempat di kenal dengan nama “Los Uning” ( dari bahasa Belanda “loods” yang artinya pandu), tinggal di Soengai Pinang Straat itu. Saya tidak tahu apakah Kadrie lahir di jalan tersebut, namun yang jelas, dia-dan saudara-saudaranya dibesarkan di-jalan yang sekarang (sesudah Indonesia Merdeka) bernama Jalan Imam Bonjol.
Mungkin untuk mengenang barisan pohon-pohon pinang di jalan tempat tinggal tempoe doeloe, sewaktu akan dibangunnya kompleks perkantoran/pertokoan di jalan yang sekarang bernama Jalan Niaga Timur, Walikota Kadrie Oening menetapkan juga “Pinang Babaris”’ – yang sudah dalam keadaan kumuh, sedangkan fungsinya atau pemanfaatannya sudah berubah dari tujuan semula sewaktu dibangunnya tahun 1970-an dulu.
Samarinda, 14 Desember 1997
Penulis : Oemar Dachlan/Editor : Akhmad Zailani
Pinang Babaris depannya THG (Taman Hiburan Gelora)/ 1976 Foto David_grey