Suara Kaltim-Hampir di setiap daerah terdapat pasar , terlebih pasar tradisional. Ia merupakan tempat yang menjadi pusat terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Secara visual, mungkin orang akan membayangkan bahwa pasar-pasar tradisional memiliki tampilan yang seperti itu-itu saja, bahkan cenderung kumuh.
Berbeda dengan salah satu pasar di Temanggung, Jawa Tengah. Pasar Papringan namanya. Ia berada di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung. Pasar tradisional tersebut berbeda karena memiliki sistem transaksi yang unik, tatanan yang menarik, hingga berbagai kegiatan yang dilaksanakan di pasar tersebut.
1. Berada di Tengah Rerimbunan Pohon Bambu
Sesuai dengan namanya, Papringan yang berarti tempat yang banyak pohon bambunya, pasar tersebut juga dikelilingi pohon bambu. Rimbunnya pohon bambu tersebut membuat para pengunjung tidak terlalu tersengat sinar matahari saat matahari mulai naik. Selain itu, pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi itu menambah kesan asri pasar tradisional tersebut.
2. Hanya Buka Dua Kali dalam Sebulan
Tidak setiap hari, Pasar Papringan hanya buka dua kali dalam sebulan, Minggu Wage dan Minggu Pon. Pasar tersebut buka mulai pukul 06.00 WIB sampai barang dagangan habis. Namun, biasanya sekitar pukul 12.00 WIB barang-barang lapak penjual sudah ludes. Jadi, jangan sampai datang di atas jam tersebut untuk mendapatkan berbagai belanjaan di pasar tersebut.
3. Menggunakan Uang Bambu untuk Bertransaksi
Serba bambu, alat transaksi di Pasar Papringan pun terbuat dari bambu. Saat hendak masuk, pengunjung terlebih dulu menukarkan uang dengan uang bambu di stand yang sudah disediakan oleh panitia. Setiap satu keping uang bambu seharga Rp 2.000. Begitu pun nilainya saat nanti digunakan untuk berbelanja.
Uang bambu tersebut tidak dapat dirupiahkan lagi jika tidak habis dibelanjakan. Oleh sebab itu, pembeli harus melakukan penghitungan keping uang bambu yang dimiliki dengan belanjaannya. Hati-hati, terlebih jika salah perhitungan sehingga uangnya kurang.
Dulu
Sebagian besar yang dijual di Pasar Papringan adalah jajanan tradisional. Tidak heran jika berbagai jenis jajanan tradisional ditemukan di sana. Bahkan, menurut koordinator keuangan Pasar Papringan, setidaknya terdapat 140 jenis makanan tempo dulu. Di antaranya adalah gono jagung, kupat tahu, gudheg, gablog pecel, pepes, nasi kuning, gorengan, godhogan, susu kedelai, wedang tape, dan dawet.
Ada juga ketan cambah corak, tiwul, iwel-iwel, lento-lento kocomoto, kemplang, gemblong klomot, bajingan kimpul, singkong, jenang, jadah bakar, dan lain sebagainya. Belum lagi makanan-makanan khas pedesaan juga dapat ditemukan di sana. Semua makanan itu adalah hasil kreasi dari masyarakat sekitar. Selain itu, para pelapak di sana akan tampak berbeda, sebab menggunakan pakaian tradisional Lurik.
5. Terdapat Ruang Baca dan Pertunjukan Kesenian Daerah
Tidak hanya terdapat berbagai jenis makanan, di Pasar Papringan juga terdapat ruang baca dan bermain bagi anak-anak. Selain itu juga terdapat pertunjukan kesenian daerah, seperti gamelan. Hal itu membuat kesan suasana pedesaan yang sangat kental.
Ditambah lagi segala benda yang digunakan sebagai pembungkus makanan tidak ada yang menggunakan bahan plastik. Semua benar-benar menghadirkan kesan tempo dulu. Dengan demikian, penggunaan bahan bukan plastik itu diharapkan dapat menjaga dan memelihara lingkungan dari sampah berbahaya.
Sebelum menjadi pasar seperti saat ini, konon pasar tersebut adalah tempat yang dipercaya angker. Ia hanyalah lahan kosong yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Bahkan tempat tersebut berada tidak jauh dari pemakaman dan tempat pembuangan sampah.
Atas pemikiran kreatif Singgih Susilo Kartono sebagai founder, tempat tersebut akhirnya disulap menjadi tempat yang menarik wisatawan domestik hingga asing. Meski sebagai pasar tradisional, namun Pasar Papringan memiliki spot-spot foto Instagramable. Sebab, pasar tersebut digarap serius dengan menggunakan jasa desainer dari Thailand.
Pasar tersebut juga didirikan demi mengangkat ekonomi masyarakat sekitar. Demi mencapai tujuan itu, bahkan di tengah pasar dibuatlah lintasan yang membentuk angka delapan. Konon, angka tersebut dianggap sebagai simbol keberuntungan.
Sumber dari Kumparan