Suara Kaltim – Kutipan sebagian dari tulisan M Hatta Taliwang, mantan Anggota DPR RI dari PAN
Lu Bu Wei, Perdana Menteri Dinasty Qin yang menjadi peletak dasar menyatukan China, bertanya pada papanya:
‘Berapa untungnya bertani? Jawab papanya: ’10 kali lipat’.
‘Kalau berdagang emas?’ Jawab papanya lagi: ‘100 kali lipat’. ‘Oohh kalau membantu seseorang menjadi Penguasa/Pejabat?’ Jawab papanya lagi: ‘Wah, wah tak terhitung untungnya.’
Itu dialog Lu Bu Wei dengan papanya pada abad ke-3 SM.
Makanya ada Cu Kong (asal kata Zhu artinya pemilik dan Gong artinya semacam Datuk/Gelar Kehormatan. Panggilan kehormatan zaman dulu yang membiayai orang-orang tertentu menjadi Penguasa (anggota Parlemen, Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Polisi, Panglima Tentara dan lain-lain).
Jadi soal Cu Kong bukan hal baru.
Peranan Taokeh mendanai pilkada di zaman kolonial Belanda demi menciptakan sistem ketergantungan kalangan Pangreh Praja (Birokrasi/Pemerintah) terhadap pemilik dana, maka diciptakan sistem uang semir dalam pengangkatan Lurah hingga Bupati.
Dalam buku ‘Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia’ jilid kedua, terbitan P.N Pradnja Paramita: 1970, Prof Dr. D.H. Burge dan Prof. Dr. Mr. Prajudi (buku yg terdiri dari 2 jilid ini tersedia di Perpustakaan UI Depok, dan bisa diakses oleh siapa saja) menuturkan bahwa seorang calon Lurah harus memiliki uang 700-1000 gulden. Uang tersebut sejumlah 200 gulden ‘dipersembahkan’ kepada Bupati, untuk Wedana 100 gulden, dan untuk Jurutulis Controleur 25 gulden. Sisanya untuk ‘mensejahterakan’ eselon lainnya yang terkait dalam struktur kepangrehpradjaan. Hanya untuk menjadi Lurah, dana ilegalnya bisa sebanyak itu. Berapa besar utk menjadi Wedana atau Bupati?
Muncul pertanyaan darimana dana tersebut diperoleh? Jawabannya diperoleh dari pinjaman kepada Cina yang kala itu disebut Taokeh (Tauke). Bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang diperlukan oleh seseorang utk menjadi Camat, Asisten Wedana, Wedana, Patih sampai Bupati.
Seorang Taokeh pada masa itu dapat mendanai tiga atau empat Lurah. Demikian pula seorang Taokeh dapat mensponsori dana ilegal untuk Bupati. Setelah ‘Pilkada’ di masa kolonial, ‘Taokeh’ selalu menuntut balas jasa ke penguasa.Tentu dalam bentuk “proyek” dan lain-lain.
Jadi hubungan “simbiosis mutualistik” antara pemilik modal dengan penguasa, antara Aseng dengan Asong sudah berakar ratusan tahun di Tanahair. Dipercanggih dengan KKN di masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.” (Ts)