Perjuangan Kutai Masuk Republik Indonesia

Senin, 1 Februari 2021 | 9:34 am | 29 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     
 

Intervensi dari Belanda membuat Sultan Kutai bersikap lain dengan rakyatnya yang menginginkan Kalimantan Timur masuk Republik Indonesia.

Suara Kaltim – PERSIAPAN pembangunan daerah Kutai dan Panajam Paser Utara  (yang diproyeksikan sebagai ibu kota baru) terus digalakan. Sebisa mungkin pemerintah Indonesia ingin membuat suasana nyaman di kedua daerah yang masuk ke dalam administrasi Kalimantan Timur tersebut sebelum benar-benar difungsikan menjadi pusat pemerintahan baru Republik Indonesia.

“Sebagai bangsa besar yang sudah 74 tahun merdeka, Indonesia belum pernah menentukan dan merancang sendiri ibu kotanya,” ucap Presiden Joko Widodo dalam siaran pers di Istana Negara (26/8).

Banyak masyarakat yang bertanya mengenai pemilihan Kalimantan Timur sebagai lokasi baru ibu kota. Presiden pun berkelik bahwa ia dan jajarannya telah melakukan segudang pertimbangan untuk menentukannya.

Namun sebelum menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kutai pernah mendapat beberapa kali intervensi dari Belanda. Akibatnya pemerintah Kutai memilih untuk tidak ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.

Pengaruh Kuat Kolonial

Setelah Jepang menyerah, Belanda meminta kembali hak atas Kepulauan Indonesia. Berbagai cara pun dilakukan, salah satunya menyebarkan pengaruh kepada para raja dan pemimpin daerah yang kekuasaannya akan hilang setelah Republik Indonesia berdiri.

Anwar Soetoen, dkk dalam buku Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai menyebut kalau Kutai dan kerajaan lain di Kalimantan Tiimur khawatir posisi kekuasaan mereka terancam. Akhirnya tindakan mereka pun berlainan dengan sikap politik rakyatnya yang sebagian besar ingin ambil bagian dalam perjuangan Republik Indonesia. 

“Di dalam zaman revolusi ini, sikap Kerajaan Kutai sendiri khususnya dan swapraja-swapraja di Kalimantan Timur umumnya oleh rakyat dipandang sebagai suatu sikap yang sekurang-kurangnya tidak membantu perjuangan Republik Indonesia,” tulis Anwar.

Dalam buku Propinsi Kalimantan yang dikeluarkan Kementerian Penerangan (1953) disebutkan bahwa Kutai lebih memilih bergabung dalam rencana pemerintah Belanda dibandingkan ikut ambil bagian dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Alih-alih ikut mempertahankan kemerdekaan bangsanya, seperti yang digejolakan para pejuang di penjuru negeri, pada Juli 1947 di Kalimantan Timur telah dilakukan kontrak politik antara Dewan Kutai dengan pemerintah Belanda.

“Selama kontrak itu masih tetap dijalankan sebagai dasar dari Dewan Kutai, maka walau bagaimana juga untuk meletakkan dasar dan warna demokrasi ke dalam dewan itu akan sia-sia saja,” kata Anwar.

Bersama-sama dengan Bulongan, Berau, Sambaliung, dan Neo Swapraja Pasir, para pejabat Kutai membentuk Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur yang disahkan oleh pemerintah Belanda pada Agustus 1947.

Sebagai bukti bahwa Kesultanan Kalimantan Timur berdiri sendiri dan berada di luar Republik Indonesia, dibentuklah semacam “Dewan Perwakilan Rakyat” yang bertugas mengatur pemerintahan. Namun walau begitu, tugas dewan yang dianggap sebagai badan pemerintah tertinggi di Kalimantan Timur ini sangat terbatas. Hal tersebut disebabkan oleh kontrol yang kuat dari pemerintah Belanda.

“Pembentukan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur ini di dalam pandangan rakyat adalah sebagai daerah boneka dengan maksud untuk melemahkan Republik Indonesia,” ucap Anwar.

Kondisi itu menimbulkan rasa tidak suka dari rakyat . Alhasil para sultan di Kalimantan Timur yang menjadi anggota dewan dipandang buruk oleh rakyatnya. Keinginan rakyat menghapuskan kekuasaan feodal di Kutai semakin besar saat rencana pembentukan Negara Kalimantan dijalankan. Rencana itu direalisasikan oleh A.P. Kartanegara, adik Sultan Kutai A.M. Parikesit.

Pembentukan Negara Kalimantan itu tak ayal membuat geram rakyat Kutai. Mereka menilai hal itu akan mempermudah jalan Belanda untuk memecah belah kemerdekaan Indonesia. Sementara bagi keluarga kerajaan, dengan adanya negara baru itu kedudukan mereka dalam kekuasaan akan semakin besar karena jaminan dari pemerintah Belanda.

Tetapi sayang keinginan membentuk Negara Kalimantan itu mendapat banyak ganjalan. Selain kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni di dalam pemerintahan, tidak adanya dukungan dari rakyat pun semakin mempersulit pembentukannya.

Saat sultan dan jajarannya tengah sibuk memikirkan cara mendirikan Negara Kalimantan, rakyat Kutai telah selesai mempersiapkan kekuatan untuk melawan. Dalam laporan yang ditulis Kementerian Penerangan diketahui bahwa rakyat Kutai ikut bergabung dalam Panitia Aksi Anti Swapraja, yang di dalamnya juga terdapat kekuatan perlawanan dari Samarinda, Berau, dan Balikpapan.

Gelombang Protes

Mula-mula rakyat melakukan aksi demontrasi di berbagai tempat. Dalam tuntutannya, mereka ingin segala bentuk pemerintahan yang dibuat oleh Belanda dihapuskan dan menjadikan sultan sebagai simbol kekuasaan saja tanpa adanya campur tangan di pemerintahan. Selain itu rakyat ingin Kalimantan Timur segera bergabung dengan Republik Indonesia.

Setelah gelombang protes semakin besar, pemerintah swapraja di Kutai dan Kalimantan Timur umumnya bersedia berunding dengan perwakilan rakyat mencari jalan keluar dari permasalahan politik di Kalimantan.

Pada 27 September 1950 perundingan berhasil terlaksana di Kraton Sultan Kutai di Trenggarong. Sebagai perwakilan pemerintah Kalimantan Timur, A.R. Afloes ditunjuk memimpin perundingan tersebut.

Hampir tanpa konflik, perundingan di Kutai itu berjalan dengan lancar. Sebagai hasilnya, dikeluarkanlah sebuah maklumat dari Sultan Kutai yang isinya: “Kami Aji Mohamad Parikesit sebagai Sultan dan Kepala Swapraja Kutai dengan persetujuan daripada Menteri Kerajaan Kutai, dengan ini memaklumkan bahwa berdasarkan perkembangan politik di Indonesia umumnya dan daerah Kutai khususnya, kami telah memutuskan bersedia menghapuskan Swapraja Kutai…”

Mengetahui hal tersebut, masyarakat Kalimantan Timur merasa lega. Harapan rakyat untuk bergabung dengan Republik Indonesia akan segera tercapai. Namun alangkah kecewanya mereka saat pemerintah swapraja tiba-tiba mengatakan bahwa maklumat Sultan Kutai hanya bersifat sementara dan tidak berarti banyak bagi perubahan pemerintahan di Kalimantan Timur.

Sebagai reaksi, beberapa perwakilan rakyat mengadakan Kongres Rakyat Kalimantan Timur pada 27-29 Oktober 1950. Inisiasi kongres datang dari Panitia Aksi Anti Swapraja Balikpapan (mewakili 5 organisasi), PNI Daerah Kalimantan Timur (mewakili 21 cabang), Kowani (mewakili 8 oraganisasi), dan Perwari (mewakili 16 cabang).

Dalam Masyarakat Baru No. 107 24 Oktober 1950, dijabarkan hasil Kongres Rakyat Kalimantan Timur tersebut. Pertama, pemerintah swapraja di seluruh Kalimantan Timur harus dihapus. Kedua, rakyat menolak dan menentang dengan keras siapa saja yang mempertahankan swapraja di Kalimantan Timur. Ketiga, rakyat ingin pemerintah pusat memperhatikan sungguh-sungguh keinginan rakyat.

Kongres itu pun akhirnya mendapat sorotan dari pemerintah pusat yang diwakili pejabat Provinsi Kalimantan. Dalam rangka penyelesaian konflik di Kutai dan sekitarnya, perwakilan swapraja dan kongres rakyat diundang bertemu oleh pemerintah Provinsi Kalimantan pada Desember 1950.

Dalam pertemuan tersebut perwakilan swapraja bersedia menghapus kedudukannya di Kalimantan Timur dengan syarat dilakukan oleh pemerintah pusat sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Setelah itu Kutai dan Kalimantan Timur resmi menjadi bagian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

M. Fazil Pamungkas/historia.id

Related Post