Oleh : Musthafa Akhyar, pegiat media sosial
www.suarakaltim.com– Tahun politik benar-benar panas. Panasnya mampu menghangatkan obrolan di warung makan, kedai kopi bahkan di tempat penitipan anak yang kerap jadi tempat bergosip ibu-ibu rumah tangga. Gosip-gosip yang beredar pun kini sudah mulai bergeser. Tak lagi terasosiasi dengan bisik-bisik tetangga ibu fulanah yang anaknya hobi pulang malam. Sekarang apapun menjadi murahan ketika bersinggungan dengan politik.
Rakyat sorak sorai bertepuk tangan dan tertawa gelak gembira menonton tayangan televisi tadi malam karena politisi andalannya diasumsikan berhasil menelanjangi lawan debatnya. Saking euforianya bahkan kejadian itu ditampilkan di status sosial media secara serempak untuk melegitimasi keberpihakan politiknya, semacam berkata secara halus “ah, gue banget ini . . . ”
Status isinya panjang menjulang quotasi argumentasi khas filsafat, itu pun dikutip hanya karena audiens bertepuk tangan waktu on-air di TV nasional . Nampaknya suatu hal yang keren.
Yang paling parah dari semua itu adalah apa yang sebenarnya dekat dan sedang berada di genggaman kita. Tepat di layar smartphone kita yang terkadang menemani menghantarkan tidur.
Algoritma sosial media itu benar-benar kejam dan bekerja seperti cara kerja racun. Ya, kita benar-benar telah teracuni oleh apa yang kecerdasan buatan ingin kita lihat. Ia mendesain jadwal menonton Youtube kita dan apa yang benar-benar akan kita klik ketika selesai loading selama 0.8 detik.
Secepat itu pula keputusan kita untuk mengakses konten yang disarankan. Benar-benar konten yang diafirmasi oleh pikiran alam bawah sadar tanpa harus pikir panjang. Jari-jari tidak sabar menyeret layar ke bawah, bagian kolom komentar.
BACA JUGA Kalimat dari Buya Hamka yang Melegenda
Di sana kita temukan netizen berdebat di ruang maya, status menjadi sama rata, tidak peduli latar belakang pendidikannya apa, tetap saja jadi kontestan ajang komentar yang tidak pernah ada ujungnya. Beda pilihan politik kadang lucunya mendefinisikan pilihan kosakata pula.
Sensitifitas netizen untuk mengetik “Dungu” atau “Kubu Hoax” naik 150%, asal komentar di atasnya terlihat tidak masuk akal baginya.
Proksi itu bergerak senyap, menciptakan tembok-tembok pembatas yang menjulang tapi tak terlihat. Konon mengasyikkan seperti candu. Gerak jempol atas reaksi impulsif spontan otak direspon lebih cepat daripada kapasitas kritis. Si pengguna pikir update statusnya, konten yang dishare atau komentar tendensiusnya akan mampu secara efektif mempengaruhi kelompok beda prefensi politik. Padahal itu semua hanya bergerak di ruang kedap. Iya, nyaris sangat kedap karena hanya akan dinikmati oleh kelompok yang sama.
Pola pikir dan tindak anda di sosial media benar-benar disetir oleh kemampuan kecerdasan buatan ala facebook, twitter, dan Instagram yang benar-benar membuat anda nyaman berselancar di platform mereka.
Mereka hanya ingin menampilkan apa yang benar-benar ingin anda lihat saja dan membatasi sebisa mungkin hal-hal yang mungkin ada jauhi dan membuat anda tidak nyaman. Tapi netizen akan selamanya merasa lebih benar dan cerdas dari mesin, tema perdebatan di media sosial lagi-lagi jadi bahan basa-basi di dunia nyata.
Proses memasyarakatkan politik seharusnya bergerak secara simultan dengan upaya mencerdaskan kehidupan rakyat. Dalam artian, rakyat dibangun rasionalitasnya menentukan untuk apa hak politiknya digunakan. Apa yang terjadi di negara ini sudah terlalu parah, karena pahit dibilang masyarakat menjadi kelompok sosial yang tidak lagi diandalkan kemampuannya memilih atau memutuskan kehendak politiknya untuk mensejahterakan diri dan keluarga lagi.
Keretakan ini ada yang memelihara, entah siapa, namun intinya jika bangsa ini tidak berhasil dijajah secara militer dan atau ekonomi. Cukup ciptakan chaos yang tidak bisa diatasi oleh bangsa itu sendiri, suatu saat ia akan kembali ke rangkulan kolonial meski tidak berkoloni di dalam wilayah. [kiblat.net]
BACA JUGA Walhi Tantang Keberanian Jokowi, Bongkar Orang di Tmnya yang Punya Lahan Luas Seperti Prabowo