Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy di Jakarta, Rabu, mengatakan, lebih dari 50 persen produksi jagung memang diperuntukkan untuk konsumsi hewan, termasuk ayam.
Menurut dia, tingginya harga pakan nabati dipengaruhi oleh pasokan. Sementara pemerintah justru membatasi impor jagung yang menjadi unsur utama pakan ternak ayam.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (Kementan), jumlah produksi jagung nasional mengalami peningkatan pada periode 2013 sampai 2017. Pada 2013 jumlah produksi jagung nasional adalah 18,5 juta ton dan meningkat menjadi 19 juta ton dan 19,6 juta ton pada 2014 dan 2015. Pada 2016 dan 2017 jumlahnya menjadi 19,7 juta ton dan 20 juta ton.
Di saat yang bersamaan, jumlah konsumsi jagung nasional juga terus naik. Pada periode 2013-2015, jumlah konsumsi jagung nasional berjumlah 21,6 juta ton, 22,5 juta ton dan 23,3 juta ton.
Ada sedikit penurunan pada 2016 yaitu menjadi 22,1 juta ton. Jumlah ini kembali naik menjadi 23,3 juta ton pada 2017.
“Jumlah produksi jagung nasional terus meningkat. Tapi kenaikan ini juga diikuti adanya lonjakan jumlah konsumsi nasional,” katanya.
Imelda mengingatkan bahwa tanpa adanya ketersediaan yang memadai, harga jagung akan tinggi, belum lagi depresiasi rupiah dipastikan memengaruhi impor.
Sebagaimana diwartakan, harga telur ayam di pasar tradisional wilayah Jakarta Barat naik menjadi Rp28.000 per kilogram pada Rabu.
Beberapa kios yang menjual telur ayam, menurut pantauan Antara di sekitar Pasar Palmerah, Jakarta Barat, rata-rata mematok harga terendah sekitar Rp 28 ribu per kilogram.
Harga tersebut mengalami kenaikan sekitar Rp2.000 dibandingkan dua hari lalu yang sempat turun drastis, dari Rp 30ribu pada Jumat (13/7) menjadi Rp26ribu.