Hamid Algadri dan Sumbangsih Keturunan Arab pada NKRI

Jumat, 30 Agustus 2019 | 6:08 am | 175 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

Peran dari keturunan Arab bagi negeri ini tidaklah kecil. Maka tidak relevan jika ada yang menyudutkan keturunan Arab

 

Baca : 

Perenungan Syair ‘Kemerdekaan’ A. Hassan

Logika Jenaka Tuan A. Hassan

 

 | HAMID Algadri (1912-1998), tokoh muslim keturunan Arab  kelahiran Pasuruan. Kiprah dan sumbangsih dalam gelanggang perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)  yang tidak kecil. Meski beliau adalah keturunan Arab, namun sejak kecil dikenal sebagai seorang yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.

Figur yang biasa dipanggil dengan sebutan “Amik” ini, dalam buku “Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986” (1986: 46) digambarkan memiliki semangat perlawanan kepada kolonialisme sejak kecil. Pada masa pergolakan kemerdekaan, beliau aktif di berbagai pergerakan yang turut berkontribusi bagi dinamika perjuangan negeri. Sebut saja misalnya Jong Islamieten Bond dan Partai Arab Indonesia.

Menurut silsilah, ayah Hamid berasal dari tanah Hadramaut di Jazirah Arab dan dari garis keturunan ibu dari Malabar, India. Ia menempuh pendidikan formal sekolah dasar ELS, sekolah menengah MULO dan AMS-A bagian klasik Barat, dan tahun 1936 sebagao mahasiswa Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Ia merupakan keturunan Arab pertama yang menuntut pelajaran di universitas.

Untuk lebih jauh mengenal sosok dari suami Zena Alatas ini beserta keturunan Arab lainnya dalam merintins kemerdekaan Indonesia, buku berjudul “Suka Duka Revolusi” (1991) anggitan beliau tak ayal lagi penting untuk ditelaah lebih lanjut. Khususnya pada tema pembahasan “Islam, Kebangsaan dan Kemerdekaan” (1986: 44-58).

 

Sejak belia, perlawanannya kepada kolonial Belanda sudah tumbuh. Untuk memasuku sekolah dasar ILS Belanda saja, ia bersama kakeknya harus beradu mulut karena sempat ditolak gara-gara tidak masuk sebagai golongan elit yang memili hak istimewa untuk belajar di dalamnya. Penolakan itu wajar membuat kakeknya naik pitam sembari mengancam. Kalau cucunya tidak boleh masuk sekolah itu, maka lebih baik bintang-bintang yang diterimanya selama ini dari Kolonial Belanda dibuang saja. Usaha itu menuai hasil, akhirnya cucunya bisa sekolah.

Rupanya, setelah masuk persoalan yang dihadapi Hamid tidak pernah berhenti. Di sekolah itu dia sering membantah dan mendebat guru-gurunya gara-gara sering mendiskreditkan agama Islam. Salah seorang guru sejarah yang kebetulan seorang pendeta misalnya, seringkali menyindir tentang hal negatif tentang Islam. Hamdi kecil tak mau kalah, pengetahuan yang didapatnya dari ayah dan kakeknya digunakan untuk membantah guru itu. Gurunya pun kelabakan karena memang tidak menguasai Islam secara baik.

Akibatnya, Hamid sering diusir dari kelas. Lama-lama, gurunya menyadari akan kekurang pengetahuannya terhadap agama Islam. Di antara mereka ada yang menyempatkan diri untuk bertamu menghadap orang tua Hamid untuk mengetahui agama Islam. Sekembalinya dari situ, para guru lebih memahami bahwa Islam tidak seburuk yang dibayangkan dan pada gilirannya mampu menghargainya.

Saat kelas 5, berbarengan dengan bertambahnya kemampuannya dalam berbahasa Belanda, Hamid menjadi gila baca. Buku-buku berisi pembelaan terhadap golongan lemah seperti karya Karl May, semisal “Old Shatterhand” dan lain-lain. Di samping itu, ia juga suka kagum dengan pahlawan-pahlawan Islam yang diceritakan oleh kakeknya seperti kisah Umar bin Khattab. Dari hasil bacaannya itu, sanubarinya terdorong untuk membela yang lemah dan melawan penjajahan.

Saat di sekolah do MULO Surabaya pun juga demikian. Ia menjumpai perlakuan diskriminatif terhadap anak-anak pribumi yang dipandang rendah kedudukan dan agamanya oleh kolonial. Untuk menghadapi itu ia bergabung dengan organisasi JIB (Jong Islamieten Bond) yang berasas Islam dan Indonesia Muda (IM) yang berasas kebangsaan. Meskipun saat memasuki IM ditolak, karena bukan orang asli Indonesia, kata Hamid, “Hal itu tidak mengurangi semangat keindonesian saya dan sekaligus kebangsaan saya.” (47)

Saat di AMS (setingkat SMA) ia sudah jarang bentrok dengan guru karena mendapat pengajar yang objektif. Malah sering diundang ke rumah untuk membaca koleksi sang guru. Dengan pengalaman seperti itu (berpegang kuat pada agama dan peduli kebangsaan), akhirnya pada tahun 1934 beliau bergabung dengan  Partai Arab Indonesia (PAI).

PAI ini merupakan organisasi yang unik dan menarik. Meskipun yang di bawah payung oraganisasi adalah orang-orang Arab, tapi berkomitmen menjadi orang dan berbahasa Indonesia. Sehingga bisa dikatakan, itu sebagai suatu sumpah pemuda keturunan Arab yang terjadi setelah 6 tahun begulirnya sumpah pemuda (1928). Tak mengherankan, karena PAI pendirinya adalah A.R. Baswedan (Kakek Gubernur DKI Anies Baswedan,  Menteri Muda Penerangan 1946-47) yang perhatian pada agama dan kebangsaan sekaligus, yang kelak sumbangsihnya bagi negeri sangat besar (seperti: lawatan ke Mesir untuk melakukan diplomasi agar kemerdekaan Indonesia diakui).

 

Di kemudian hari PAI semakin melebarkan sayap . Tidak hanya di pula Jawa tapi juga Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lainnya. Menariknya, organisasi ini tak segan mengkritik ketidakberesan sendiri serta melakukan pembinaan kebangsaan Indonesia. Meski Belanda menentang, PAI tetap berpihak kepada gerakan Nasional.

Sebagai contoh, saat Kongres PAI ke-2 di Surabaya (25 Maret 1937), mendukung secara penuh “Petisi Sutardjo” yang mengamini cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada Kongres PAI ke-5, bila dibaca dari program-progam yang dicetuskan, semakin mengukuhkan dukungannya kepada Indonesia sekaligus pada agama Islam. Kelak PAI bergabung dalam  Gabungan Partai-partai Politik Indonesia (GAPI) dan turut serta dalam gerakan “Indonesia Berparlemen”.

Masih banyak sebenarnya peran-peran lain dari Hamid Algadri beserta tokoh keturunan Arab lainnya. Untuk mengetahui peranan keturunan Arab bagi negeri, bisa dibaca misalnya buku “

Hamid Algadri bekerja di Sekretariat Perdana Menteri dan sempat menemani rombongan rombongan PM Sjahrir di dalam KLB (Kereta Api Luar Biasa) dari Jakarta ke Yogyakarta akhir 1945. Dalam KLB ikut pejabat tinggi RI seperti Prof. Djokosutono, Margono Djojohadikusumo, Didi Kartasasmita. Ia lalu pindah pada Kementerian Luar Negeri, seterusnya sebagai Sekretaris Kementerian Penerangan sambil sekaligus jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Saat Sjahrir jadi ketua badan Pekerja KNIP, dia dipanggilnya dari Pasuruan dan diberi tugas di Jakarta. Sebagaimana waktu itu Soedjatmoko, Soedarpo, Soebadio Sastrosatomo disebut sebagai de jongens van Sjahrir (anak-anak Sjahrir). Hamid Algadri pun termasuk di dalamnya.

 

Hamid merupakan penasihat delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggarjati dan Renville sehingga mengetahui informasi intern yang dapat dipakai oleh penulis dalam pekerjaannya sebagai komentator politik.

Waktu pecah aksi militer Belanda ke-1 (21 Juli 1947), Hamid beserta anggota delegasi Republik lain yang berada di Jakarta ditahan, akan tetapi karena campur tangan Prof Schermerhorn, ketua Komisi Jenderal Belanda, segera dibebaskan.

Setelah Persetujuan Renville ditandatangani bulan Januari 1948, Belanda mulai mendirikan negara-negara bagian seperti Negara Pasundan mengikuti model Negara Indonesia Timur (NIT) guna mengimbangi RI. Hamid bersama Mr Ali Budiardjo mendirikan Gerakan Plebisit RI untuk berkampanye di Jawa Barat, merebut dukungan penduduknya untuk RI dan dengan demikian menggagalkan pembentukan Negara Pasundan. Upaya ini tidak berhasil.

Maka tidak relevan jika ada yang menyudutkan keturunan Arab, karena mereka sama-sama berpeluh dan berjuang demi tercapainya Indonesia merdeka.*/Mahmud Budi Setiawan/hidayatullah

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

Related Post