Bukan Hanya Manusia, Semua Juga Salat Istisqa Minta hujan Kepada Allah, Ini Kisahnya

Selasa, 1 Oktober 2019 | 5:45 am | 208 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     
 
 
Ilustrasi semut berdoa minta hujan (Foto: Pixabay)
 

SUARAKALTIM.COM- Sejatinya bukan hanya umat Islam saja yang melaksanakan Salat Istisqa untuk meminta hujan saat kemarau panjang. Sebab saat kemarau, bukan hanya manusia yang kekurangan air, mahkluk Allah lainnya seperti hewan-hewan dan tumbuhan juga kekurangan air.

 Salat Istisqa dilakukan di berbagai masjid untuk minta hujan

Pada riwayat Abu Dawud, dikisahkan semut mendahului umat Nabi Sulaiman AS melakukan Salat Istisqa untuk meminta hujan kepada Allah SWT. Sebab kala itu kemarau panjang yang mendera kehidupan semua makhluk hidup.

Pada riwayat ini Nabi Muhammad SAW bercerita bagaimana seekor semut di zaman dahulu melakukan Salat Istisqa terlebih dahulu sehingga Nabi Sulaiman AS dan rakyatnya mengurungkan pelaksanaan Salat Istisqa karena telah diwakili oleh hamba Allah dari jenis lainnya.

 

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (خرج سليمان عليه السلام يستقي، فرأى نملةً مستلقيَةً على ظهرها، رافعةً قوائمَها إلى السماء، تقول: اللهم، إنا خَلْقٌ مِن خلقِك، ليس بنا غنًى عن سُقيَاك، فقال لهم سليمان: ارجعوا؛ فقد سُقيتُم بدعوة غيركم)؛ رواه أحمد، وصحَّحه الحاكم

Artinya, “Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bercerita, ‘Nabi Sulaiman As pernah melakukan Salat Istisqa, tetapi ia melihat seekor semut berposisi telentang dan mengangkat tangan dan kakinya sambil berdoa, ‘Ya Allah, kami adalah salah satu makhluk-Mu. Kami tidak dapat berlepas ketergantungan dari anugerah air-Mu.’ Menyaksikan ini, Nabi Sulaiman AS mengatakan kepada rakyatnya, ‘Mari kita pulang, kalian telah dimintakan air oleh doa makhluk hidup selain kalian,'” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Imam Al-Hakim).

Dari sini, para ulama kemudian menyimpulkan bahwa Salat Istisqa sebagai bentuk permohonan kepada Allah atas kebutuhan makhluk hidup akan air dan disunnahkan untuk melibatkan makhluk hidup selain bangsa manusia sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih.

Hal ini juga disinggung oleh Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam Ibanatul Ahkam berikut ini:

مشروعية الخروج للاستسقاء في الصحراء٬ الاستسقاء مشروع للأمم السابقة٬ يحسن إخراج البهائم في الاستسقاء لأن لها إدراكا يتعلق بمعرفة الله و بذكره وبطلب الحاجات منه تعالى بلغة يفهمها الله ويجهلها الناس

Artinya, “(Hadits ini menunjukkan) pensyariatan keluar rumah untuk melakukan Salat Istisqa di tanah lapang. Istisqa merupakan syariat bagi umat terdahulu. Alangkah baiknya membawa serta binatang ternak dalam melakukan Istisqa karena binatang itu memiliki potensi yang berkaitan dengan makrifat, dzikir, dan permohonan hajat mereka terhadap-Nya dengan bahasa yang dipahami oleh Allah dan tidak dipahami oleh bangsa manusia,” (Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 132).

Baca Juga : Ulama Seharusnya Benci Kecurangan, Inilah Kisah Tabiin yang Perlu Dibaca

Demikian hubungan semut dan bangsa manusia yang mengalami berbagai warna. Berbagai riwayat di atas menunjukkan bahwa semut (dan makhluk hidup lainnya) memiliki hak yang sama dengan manusia di sisi Allah.

Oleh karena itu, kita sebagai manusia tak boleh berbuat semena-mena terhadap semua. Sebab mereka hewan yang beribadah kepada Allah.

Nabi Muhammad SAW pernah menceritakan seorang nabi di zaman dahulu yang membakar sarang semut karena salah seekor dari mereka mengigitnya. Tetapi atas tindakan melewati batas tersebut, Allah menegur nabi-Nya sebagaimana hadits riwayat Sunan Abu Dawud berikut ini:

عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال نزل نبي من الأنبياء تحت شجرة فلدغته نملة فأمر بجهازه فأخرج من تحتها ثم أمر بها فأحرقت فأوحى الله إليه فهلا نملة واحدة

Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bercerita bahwa salah seorang nabi di zaman dahulu pernah singgah di bawah sebuah pohon. Di sana ia digigit oleh semut. Lalu ia memerintahkan untuk mencari semut tersebut. Semut itu dikeluarkan dari sarangnya, lalu ia memerintahkan untuk membakar sarangnya. Allah setelah itu menegur, ‘Mengapa kau tidak membunuh seekor semut saja?'” (HR Abu Dawud).

Pembalasan secara berlebihan terhadap semut itu juga dapat ditemukan pada riwayat Imam Bukhari. Pada riwayat tersebut, menyayangkan pembakaran atas sekelompok semut atas kesalahan seekor semut belaka. Allah pada riwayat ini juga menyebut semut sebagai hewan yang bertasbih:

وأبي سلمة أن أبا هريرة رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول قرصت نملة نبيا من الأنبياء فأمر بقرية النمل فأحرقت فأوحى الله إليه أن

 

Artinya, “Dari Abu Salamah, Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bercerita bahwa suatu ketika seekor semut mengigit seorang nabi. Ia kemudian memerintahkan untuk mendatangi pemukiman semut, lalu pemukiman itu dibakar. Allah menegurnya, ‘Seekor semut menggigitmu, tapi kamu membakar satu umat (sekelompok semut) yang kerjanya bertasbih?'” (HR Bukhari).

Baca Juga : Kisah Kedermawanan Sufi Kaya Abdullah bin Mubarak

Seperti dilansir NU Online, hubungan manusia dan semut tidak selalu antagonis. Hubungan manusia dan semut mengalami pasang dan surut. Pada giliran tertentu, semut sering kali berkontribusi pada umat manusia.

 
 
 

 

 
 
 

Related Post