oleh: Toni Syarqi
*kolumnis Kiblat.net
www.suarakaltim.com– Hari itu Umar bin Khattab meninjau pasar unta. Pandangan Umar tertuju kepada seekor unta milik anaknya, Abdullah. Unta itu lebih gemuk daripada lainnya. Seketika sang anak “diintrograsi,” kongkalikong seperti apa yang telah dilakukan dengan otoritas penggembala unta di situ sehingga untanya lebih gemuk ketimbang yang lain.
Meski Abdullah bisa jelaskan tak ada kongkalikong apapun, Umar tetap khawatir. Posisi sebagai unta milik anak khalifah membuat penggembala memberikan makanan lebih banyak daripada unta lainnya. Karena itu, Umar hanya membolehkan anaknya balik modal saja. Tidak boleh ambil untung.
Kisah seperti ini banyak kita temui dalam biografi pemimpin Islam, terutama pada tiga generasi pertama. Seiring dengan pergantian zaman, karakter pemimpin—lebih tepatnya penguasa—pun berubah. Kisah-kisah seperti unta Abdullah dianggap sekadar dongeng indah untuk dikenang, dan tak mungkin berulang.
Karena itulah, memandang fakta kepemilikan lahan oleh orang-orang yang terlibat dalam Pilpres 2019, kita hanya punya = kacamata kuda. Yang bela Jokowi sibuk kasak-kusuk dari mana dan bagaimana Prabowo bisa beroleh lahan seluas itu—lagaknya Umar yang curiga kepada anaknya. Sementara pro-Prabowo dengan girang menyebar data jumlah tanah yang kuasai kroni-kroni Jokowi, yang ternyata jauh lebih besar.
Kita lupa untuk sekadar terhenyak dan kaget, betapa luas tanah yang sudah dikapling untuk bisnis segelintir kaum kapitalis tersebut. Kalau hal itu dianggap wajar, setidaknya kita lupa untuk terusik, seberapa besar perolehan negara dan rakyat dari pajak konsesi kepemilikan lahan seluas itu.
Kita pun abai terhadap harta rakyat yang menjadi bancakan para kapitalis yang tak pernah puas dari dahaga harta. Harta itu, sebagian digunakan untuk menyulap wajah rakus para pemburu tahta menjadi sosok yang terlihat santun dan bijak, terutama menjelang pileg, pilkada maupun pilpres.
Kita puas berhasil menuduh capres tertentu sebagai pembohong. Namun kita gagal mengaitkan keserakahan penguasaan harta rakyat itu dengan kebohongan demi kebohongan yang terus diproduksi. Padahal, ketamakan harta dan kekuasaan adalah mata rantai yang tak terpisah dari kebohongan.
Riuh-rendahnya suara pendukung masing-masing kubu juga membuat kita hanya terfokus pada potensi kezaliman atas rakyat dalam konsesi penguasaan lahan. Padahal, masih ada mata bisnis lain yang dijalankan tak kalah tamaknya. Misalnya bisnis sawit dan batubara.
Ketamakan demi ketamakan itu, tentu akan menghasilkan shock culture apabila dibandingkan dengan kisah Umar bin Khattab bersama anaknya di atas. Kita tetap bangga dengan peran yang dicontohkan generasi didikan langsung Rasulullah SAW ini. Namun, kita harus tetap sadar di bumi mana saat ini berpijak.
Berharap Jokowi atau Prabowo simsalabim berubah menjadi Umar bin Khattab, tentu akan ditertawakan oleh timses dan orang dekat yang paling tahu siapa sebenarnya mereka. Namun kita boleh saja berharap Prabowo, jika terpilih, bisa menertibkan hak konsesi lahan secara adil dan transparan. Meski ini mirip jargon-jargon kampanye semata.
Harapan yang sama juga berhak kita sematkan ke Jokowi. Semoga ia merasa tertantang untuk mengambil hak penguasaan lahan ke pangkuan negara untuk diolah sejujur-jujurnya demi kemakmuran rakyat.
Apalagi sebagai seorang Muslim, Jokowi harusnya paham bahwa kebajikan yang dilakukan seseorang itu dapat menutup keburukan yang telah dilakukan sebelumnya. Apapun keburukan itu, termasuk (tuduhan) bohong dan ingkar janji. [kiblat.net]
BACA JUGA
Selain Prabowo, Timses Jokowi Juga Kuasai Ribuan Hektar Lahan RI
Program Jokowi Bagi-Bagi Sertifikat Tanah Bukan Reformasi Agraria
Serangan Jokowi Justru Berbuah Sanjungan Kepada Prabowo
BPN Tantang Jokowi Umumkan Penguasa Lahan Di Lingkaran Pendukungnya