Tiga Keadaan Hati Manusia

Jumat, 18 Desember 2020 | 6:20 am | 26 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

 

Suara Kaltim – Hati adalah raja. Hati berkedudukan seperti penguasa yang mengatur pasukan dengan kewenangan mutlak, mengeluarkan instruksi dan menggunakan dengan sekehendaknya, maka seluruh anggota badan tunduk pada kekuasaannya. Segumpal daging inilah yang menentukan apakah seluruh anggota badan istiqamah atau menyimpang.

Ia yang menjadi panutan seluruh anggota badan, memancangkan tekad atau memudarkannya. Nabi bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)”(HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Jadi, bila ada orang bergumam,

“Mau berbuat apapun terserah yang penting hatinya baik.”

Itu adalah ungkapan yang salah kaprah. Sebab perlakuan zahir manusia adalah cerminan dari hati. Seluruh anggota badan akan melaksanakan perintah  dan menerima apa yang diberikannya. Tidak ada satu perbuatan pun yang bisa terlaksana dengan benar kecuali bila terbit dari kehendak dan niat hati. Hati yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota badan, karena “Setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya.”

Sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam muqoddimah Ighatsatul Lahfan min Mashayidisy Syaithan,

“Memperbaiki dan meluruskan hati merupakan perhatian utama orang-orang yang menempuh jalan menuju rida Allah. Memperhatikan berbagai penyakit hati berikut pengobatannya merupakan tindakan paling penting yang dilakukan oleh para ahli ibadah.”

Karena hati adalah inti dari pusat perintah bagi manusia, maka mengkondisikan hati selalu “sehat” adalah pekerjaan utama bagi para pendamba surga. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim adalah sosok yang diberikan Allah anugerah pengetahuan mendalam tentang pelbagai penyakit hati, godaan setan terhadapnya, perilaku yang diakibatkan oleh godaan tersebut dan berbagai kondisi yang akan menimpa hati setelahnya.

Dengan pengetahuan luas mengenai hati, syaikh membahas dengan apik masalah ini dalam karyanya dan telah dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin. Dalam karyanya Ighatsatul Lahfan min Mashadisy Syaithan, syaikh membahas pada bab pertama mengenai pembagian hati, karena hati itu memiliki sifat hidup dan mati, maka ia terbagi menjadi tiga keadaan

Pertama, hati sehat disebut pula dengan Qalbun Salim. Pada hari kiamat tidak ada orang yang selamat melainkan yang memiliki hati ini. Allah berfirman

يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ,إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, (QS. Asy-Syuara : 88-89)

Salim artinya sehat. Ia merupakan kata sifat sebagaimana thawil (panjang), qashir (pendek) dan zharif (elok). As-Salimul Qalbi adalah hati yang memiliki kesehatan sebagai sifat baku. Salimadalah antonim dari maridj, saqim dan ‘alil yang berarti sakit.

Manusia menggunakan ungkapan yang berbeda dalam menggambarkan hakikat hati yang sehat ini. Titik temunya adalah hati sehat adalah terbebas dari syahwat yang kontradiktif dengan perintah dan larangan-Nya. Ia bebas dari peribadahan kepada selain Allah dan pengambilan keputusan hukum kepada selain rasul-Nya.

BACA JUGA  Pengacara Benarkan Rombongan HRS Alami Penembakan

Ia mencintai Allah dengan tulus dan mengikuti ketentuan Rasul-Nya dalam takut, harap, tawakal, inabah dan ketundukan kepada Allah. Mengutamakan ridha-Nya dalam setiap keadaan dan menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala cara. Inilah hakikat ‘ubudiyah yang hanya boleh diberikan kepada Allah.

Hati sehat tidak menyekutukan Allah dengan apapun dalam bentuk apapun. Ubudiyahnya murni ditujukan kepada Allah baik yang berupa kehendak, cinta, tawakal, inabah, ikhbat (ketundukan), khauf (takut) dan raja’. Ia mengikhlaskan amal untuk Allah. Mencinta, membenci, memberi hanya karena-Nya. Dan bila tidak memberi pun karena Allah.

 

Ini saja belum cukup, kecuali bila ia juga terbebas dari kepatuhan dan pengambilan hukum kepada selain Rasul-Nya. Maka, ia mengikat hati kuat-kuat untuk mengikuti dan meneladani beliau saja, dalam ucapan maupun perbuatan : ucapan hati yang berupa keyakinan maupun ucapan lisan yang berupa pernyataan dari apa yang terdapat dalam hati. Juga amalan hati yang berupa kehendak, cinta, benci dan sebagainya serta amalan anggota badan.

Dalam semua itu baik secara garis besar maupun rinci, yang menjadi panutan adalah ajaran yang dibawa Rasul. Ia tidak mendahului beliau dalam berkeyakinan, berbicara, maupun beramal. Sebagaimana firman-Nya

   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujurat : 1)

Seorang salaf berkata, “Setiap perbuatan sekecil apapun pasti akan ditanya dengan dua pertanyaan, yaitu : Mengapa dan bagaimana. Yakni, mengapa kamu berbuat dan bagaimana kamu berbuat? Pertanyaan pertama berkenaan dengan sebab, motivasi dan latar belakang perbuatan;apakah bertitik tolak dari kepentingan dan ambisi dunia seperti kesenangan dipuji orang, ketakutan pada celaan, keinginan memperoleh sesuatu, upaya menghindari sesuatu yang dibenci di dunia. Atau perbuatan itu timbul dengan motivasi untuk menunaikan kewajiban beribadah, meraih cinta Allah, mendekatkan diri dan meraih rida-Nya?

Adapun pertanyaan kedua berkenaan dengan mutaba’ah kepada Rasul di dalam ibadah tersebut. Artinya perbuatan tersebut telah disyariatkan melalui lisan Rasul atau tidak diperintahkan dan tidak diridai-Nya?

Yang pertama adalah pertanyaan  mengenai ikhlas sedangkan kedua mengenai mutaba’ah. Sebab Allah tidak akan menerima amal kecuali dengan keduanya. Antisipasi terhadap pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan, sedangkan pertanyaan kedua adalah dengan merealisasikan mutabaah dengan sebenarnya. Hati harus bersih dari keinginan yang kontradiktif dengan keikhlasan dan dari nafsu yang kontradiktif dengan mutabaah. Inilah hakikat kesehatan bagi hati yang dijamin selamat dan bahagia.

Kedua, hati mati kebalikan dari yang pertama. Ini adalah hati yang mati tanpa kehidupan sama sekali. Ia tidak mengenal Rabb serta tidak beribadah pada-Nya. Sebaliknaya ia senantiasa memperturutkan hawa nafsu walau dimurkai dan dibenci-Nya. Tidak peduli apakah hal itu akan membuat-Nya rida atau murka, ia beribadah pada selain Allah dalam kecintaan, ketaatan, pengharapan, keridaan, kemurkaan, pengagungan dan ketundukan.

BACA JUGA  Begini Tanggapan Jokowi Soal Penembakan 6 Laskar FPI

Bila mencinta, membenci, memberi,menolak semuanya dilakukan karena nafsu semata. Hawa nafsu diutamakan daripada keridaan-Nya. Hawa nafsu adalah imamnya, syahwat adalah komandannya, kebodohan adalah pengendalinya dan kelalaian adalah kendaraannya. Ia sentiasa sibuk berpikir untuk memperoleh ambisi duniawi serta dimabuk hawa nafsu dan cinta dunia. Dari jauh, ia dipanggil untuk kembali pada Allah dan mengutamakan kebahagiaan akhirat akan tetapi enggan menyambut panggilan sang pemberi nasihat,bahkan mengikuti bujukan setan yang durhaka. Murka dan ridanya tergantung dunia, hawa nafsu telah membuatnya tuli dan buta.

Bergaul dengan orang yang berhati seperti ini adalah penyakit dan racun. Bersahabat dengannya adalah kebinasaan.

Ketiga, hati sakit. Hati jenis ketiga ini adalah hati yang mempunyai kehidupan, tetapi berpenyakit. Terkadang kehidupan tampak padanya, tetapi kadang tampak penyakitnya, tergantung mana yang dominan saat itu.

Dalam hati ini terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan dan tawakkal pada-Nya, yang semua ini merupakan bahan baku kehidupannya. Tetapi, di dalamnya juga terdapat kecintaan kepada nafsu, pengutamaan terhadapnya dan ambisi untuk memperolehnya, kedengkian, kesombongan dan kebanggan terhadap diri sendiri. Ia dipengaruhi dua penyeru, mengajak kepada Allah, Rasul-Nya dan akhirat serta yang lain mengajak pada dunia. Ia mengikuti salah satu dari kedua penyeru itu yang pintu dan jaraknya lebih dekat dengannya.

Hati jenis pertama adalah hati yang khusyu’, lembut dan sadar. Hati kedua adalah hati yang kering dan mati. Sedang yang ketiga adalah hati yang sakit, yang lebih dekat pada kesehatan atau sebaliknya dekat pada kematian.

Allah menyebutkan ketiga jenis ini dalam firman-Nya

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj : 52-54)

Dalam ayat ini Allah membagi hati menjadi tiga: dua diantaranya terkena fitnah dan hanya satu yang selamat. Dua jenis hati yang terkena fitnah adalah hati berpenyakit dan hati yang keras. Sedangkan yang selamat adalah hati orang mukmin yang tunduk dan patuh pada Rabbnya. Diharapkan hati dan anggota badan lain dalam keadaan sehat tanpa penyakit apapun, sehingga bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

 

Dhani El_Ashim (Redaktur Kiblat.net)

Editor : Akhmad Zailani

Diinisiasi dari kitab Ighatsatul Lahfan min Mashadisy Syaithan, karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah

Related Post