Terhimpun Kata Sepakat, DPR Sahkan UU Antiterorisme

Sabtu, 26 Mei 2018 | 5:44 am | 266 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

 

Foto: Sidang paripurna RUU Terorisme di Kompleks Senayan, Jakarta, Jumat (25/05/2018).

JAKARTA, SUARAKALTIM.com – Dewan Perwakilan Rakyat mensahkan hasil Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang tersebut disahkan langsung dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Agus Hermanto di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/05/2018).

“Apakah RUU tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme dapat disetujui untuk disahkan sebagai undang-undang?” tanya Agus yang kemudiaan diikuti kata ‘sepakat’ seluruh anggota dewan yang hadir.

Dari pantauan  peserta yang hadir tak sampai 50 orang. Persetujuan peserta rapat dilakukan setelah sebelumnya Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii terlebih dahulu membacakan poin dalam Undang-undang Tindak Pidana Anti Terorisme yang baru.

“Terdapat penambahan banyak substansi pengaturan dalam RUU tentang Tindak Pidana Terorisme untuk menguatkan pengaturan yang telah ada dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” ungkapnya.

Secara umum, Undang-undang Tindak Pidana Anti Terorisme yang baru disahkan memuat hal-hal berikut:

A. Adanya perubahan signifikan terhadap sistematika UU Nomor 15 Tahun 2003, menambah bab pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan kemudian soal Peran TNI yang itu semua baru dari Undang-Undang sebelumnya.

B. Adanya perubahan esensi dari UU Nomor 15 Tahun 2003, RUU saat ini mengatur hal secara komprehensif, tidak hanya bicara soal pemberantasan tapi juga aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan, kelembagaan dan pengawasan

C. Memperjelas penafsiran delik-delik yang berpotensi multitafsir atau ‘karet’. Hal ini sesuai dengan Prinsip-prinsip umum hukum pidana dan statuta roma tentang Mahkamah pidana Internasional (international criminal court 1998 dimana menyatakan bahwa definisi mengenai kejahatan harus ditafsirkan dengan ketat dan tidak boleh diperluas dengan analogi.

D. Menghapus sanksi pidana pencabutan status kewarganegaraan pada Pasal 12B

E. Menghapus Pasal Guantanamo yang menempatkan seseorang di tempat dan lakasi tertentu selama 6 bulan untuk pencegahan yang semula diatur pada Pasal 43A f Menambah ketentuan bahwa dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan tersangka pidann terorisme harus dilakukan dengan menjungjung prinsip-prinsip Hak asasi manusia terduga diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, tidak diperlakukan secara kejam, dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia. (Pasal 28 ayat (3)

G. Menambah ketentuan pidana bagi pejabat yang melanggar ketentuan (Pasal 28 ayat (4)

H. Menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban aksi terorisme secara komprehensif mulai dari definisi korban, lingkup korban, pemberian hak-hak korban yang semula di UU 15 tahun 2003 hanya mengatur mengenai kompensasi dan restitusi saja, kini RUU telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan pemberian kompensasi (Pasal 35A, Pasal 36, Pasal 36A dan Pasal 36B)

I. RUU mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU ini disahkan (Pasal 43l)

J. Menambah ketentuan pencegahan. Dalam konteks ini, pencegahan terdiri dari kesiapsiagaan nasional, kontra-radikalisasi dan deradikalisasi (Pasal 43A, 43B, 43C dan 43D)

K. Menambah ketentuan mengenai kelembagaan dengan memasukan tugas, fungsi dan kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Pasal 43E, 43F,43G, 43H)

L. Menambah ketentuan pengawasan yang dibentuk dan terdiri dari anggota DPR (Pasal 43Il

M. Menambah ketentuan pelibatan TNI yang dalam hal pelaksanaannya akan diatur dalam Peraturan Presiden (Pasal 43J)

n. Menambah ketentuan mengenai definisi terorisme (Pasal 1 angka 1). Dimana disetujui secara aklamasi, definisj yang baru adalah :

o. Mengubah ketentuan kejahatan politik dalam Pasal 5, dimana mengatur bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari kejahatan politik yang tidak dapat di ekstradisi. Hal ini sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pengesahan konvensi internasional pemberantasan pengeboman oleh teroris (Pasal 5).

sk-003/Muhammad Jundii/kiblat.net

Related Post