Komnas PA Beber Pengakuan Korban “Paedofilia Bali” : GI Ajak Korban Mandi Bersama

Sabtu, 16 Februari 2019 | 10:15 am | 302 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     
 
 

DENPASAR, www.suarakaltim.com Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, sudah bertemu satu dari 12 korban kasus dugaan paedofilia di Ashram Gandhi Puri Sevagam, Desa Paksebali, Klungkung, Bali.

Dari pengakuannya, korban sering diajak mandi bersama hingga pijat memijat.

Hal ini disampaikan Arist saat mendatangi Polda Bali, Kamis (14/2) pagi.

Sehari sebelumnya, Arist sudah mendatangi Ashram Gandhi Puri Sevagam, Rabu (13/2) siang.

Malamnya ia bertemu seorang korban dalam dugaan kasus kejahatan seksual pada anak-anak ini.

“Jadi hari ini (kemarin, red) saya melaporkan kunjungan saya dan tim kemarin di Ashram Klungkung juga hasil dari interview saya dengan seorang korban tadi malam (Rabu malam, red) yang mengaku sebagai korban pada tahun 2010, dan juga merupakan satu di antara 12 orang yang melarikan diri dari ashram,” ujar Arist kepada awak media di Polda Bali, kemarin.

Arist Merdeka Sirait mendatangi Polda Bali, Kamis (14/2/2019)
Arist Merdeka Sirait mendatangi Polda Bali, Kamis (14/2/2019) (Tribun Bali/Busrah Ardans)

Dari penuturan korban, disebutkan memang terjadi peristiwa seperti dugaan kejahatan seksual pada anak alias paedofilia yang diduga dilakukan oleh GI, seorang tokoh penekun spritual dan juga pemilik ashram.

“Misalnya apa yang dilaporkan seperti diajak mandi bersama, kemudian seperti pijat, dan kegiatan lainnya yang membuat 12 orang ini tidak menyangka ada peristiwa seperti itu,” kata Arist.

Dalam pertemuannya pada Rabu malam itu, ia menuturkan kondisi korban terganggu dengan kembali beredarnya isu ini. Apalagi korban sudah berkeluarga.

“Korban ini kan dalam keadaan ketakutan, maklum saja dirinya tidak mau terekspos. Atas dasar itu kita bertindak ini sebagai yang melaporkan. Rencananya tanggal 21 (Februari) ini saya akan bertemu dengan 12 orang korban ini. Kami sedang melakukan pembicaraan dan mengorganize pertemuan ini. Karena mereka tersebar tempat tinggalnya. Ada di desa satu-tiga orang tapi masih di wilayah Bali,” terangnya.

“Saya tidak berandai-andai tapi saya yakinkan satu korban tadi malam, bahwa nanti tanggal 21 hasilnya belum maksimal itu bisa saja. Tapi kita berusaha tetap ada pertemuan itu,” imbuhnya, penuh optimisme.

Bagaimana jika hanya tiga sampai empat orang korban yang hadir dalam pertemuan nanti? Aktivis anak dengan ciri khas rambut gondrong dan brewok ini menyatakan tidak jadi masalah.

“Itu sebuah pengakuan, kan nanti saksi itu memberikan keterangan output-nya adalah keterangan bahwa dia mengakui ada peristiwa itu. Bentuknya apa, itu dia yang sebelumnya saya katakan bahwa disepakati ada dugaan peristiwa pada tahun 2010 dan 2015.”

“Nah, untuk mendalami itu, apa bentuknya, maka itu harus diceritakan. Seperti tadi yang saya sampaikan, fisiknya bagaimana, misalnya ada mandi bersama, pijat, bahkan katanya dari senior-seniornya bilang harus menghindari ketika terjadi pemanggilan misalnya. Ini yang harus diceritakan pernah terjadi itu tanggal berapa. Artinya itu, korban tidak perlu datang ke polisi, kita yang melaporkan itu,” jelas dia merinci.

Masih Trauma

Arist menyebut kondisi korban yang sudah dia temui tampak masih trauma.

Korban harus kembali mengingat kembali peristiwa pahit yang dialaminya sembilan tahun lalu. Apalagi dia ini sudah dewasa, menikah, dan punya anak.

“Tadi malam (Rabu malam, red) itu kita berbicaranya sangat hati-hati karena itu bagian dari traumatis. Ketika berita ini muncul lagi, dan saya temui tentu membuat dia tidak nyaman. Tapi di sana juga saya yakinkan bahwa peristiwa ini gak bisa ditutupi karena sebuah kasus kejahatan itu akan terulang lagi. Nah kira-kira begitu diskusi kami. Kalau bertanya tentang trauma, ya, iya trauma,” paparnya.

Korban akhirnya mau dijadikan saksi nantinya karena dia yakin akan peristiwa itu dan merasa kejadian itu harus diungkap.

Supaya itu tidak terjadi lagi dan secara umum diberikan kepada publik bahwa kejahatan seksual itu tidak bisa dibiarkan.

Selain mendengar satu nama yang sering diduga-duga sebagai pelaku, Arist juga menyebut tiga nama yang menjadi pergunjingan masyarakat di ashram.

Tapi yang satu itu dinilainya lebih dominan, yang merupakan pemilik ashram.

“Bisa jadi ada terduga pelaku lain tapi saya belum bisa memastikan ya. Kemarin memang mau bertemu dengan GI ini tapi katanya dia ke India. Jadi mudah-mudahan dengan adanya isu ini dia bisa cepat pulang. Kan kemarin sudah dipastikan sama pengelola kalau bulan Maret ini dia akan kembali,” terangnya.

Kendala yang dialaminya hanya karena kejadian sudah agak lama, dan korban pada usia anak. Jadi sekarang kesulitannya korban merasa terganggu dengan privasi dan macam-macam.

Namun demikian, setelah mengunjungi lokasi ashram di Klungkung itu, dirinya memiliki firasat bahwa telah terjadi peristiwa paedofilia di situ.

“Suasananya itu mendukung sekali, kegiatan-kegiatannya, kemudian sudut-sudut ruangan. Ruangan dan tempat tidur, itu satu kamar satu orang. Padahal itu satu footage itu ada dua-tiga kamar. Tapi dihuni satu orang. Jadi saya menyimpulkan ada peristiwa di situ. Kalau di kasus Angeline dulu, pas saya masuk kamarnya saya katakan telah terjadi persekongkolan jahat yang dilakukan oleh keluarga inti. Itu statement saya. Nah ketika saya berkunjung ke sana kemarin saya bilang ada peristiwa juga di situ,” bebernya.

“Memang ketika melihat itu saya merasakannya, tidak bisa diungkapkan tapi dirasakan ada. Saya bukan paranormal ya. Tapi eh saat ketemu korban semalam, nah itu dikuatkan,” kata dia blak-blakan.

Jemput Bola

Sementara itu, Dirreskrimum Polda Bali Kombes Pol Andi Fairan usai bertemu Arist mengatakan dirinya menyambut baik kedatangan tim Komnas PA untuk menanyakan informasi tentang adanya dugaan pelecehan seksual terhadap anak-anak yang selama ini menjadi viral di media.

Fairan pun mengaku sudah menyampaikan kepada Arist bahwa Ditreskrimum Polda Bali sudah mengadakan penyelidikan untuk mengolah informasi yang diterima menjadi data.

“Langkah-langkah itu sudah kita lakukan. Tapi sampai saat ini informasi yang kita dapatkan itu belum bisa kita jadikan sebagai dasar untuk menindaklanjuti ke proses penyidikan. Karena sampai saat ini tidak ada korban yang mau melapor terhadap adanya kejadian itu. Dan kami juga sudah jemput bola terhadap informasi tersebut,” kata Fairan di hadapan wartawan.

Ditambahkan, pihaknya tetap mencari informasi lebih lanjut untuk memperlihatkan keseriusan menangani kasus seperti ini. Polda Bali sudah berkomitmen memberantas kasus paedofilia di Bali.

Ditanya mengenai tidak mesti adanya delik aduan, kata dia, pihaknya juga ingin dalam proses ini membutuhkan adanya korban. Apalagi dugaan kejadian itu terjadi 2010 kemudian informasinya 2015.

“Artinya terhadap korban itu 2019 sudah dewasa. Jika ada yang merasa dirinya korban, dengan senang hati kita akan menerima laporan itu. Jadi jangan dibawa seolah-olah kejadian itu terjadi tahun ini. Kalau korbannya bersedia kami akan dekati dan kita serius menerima. Selama ini kasus-kasus seperti ini tidak ada yang kita abaikan,” ungkap Fairan.

“Jika informasi-informasi itu sekedar informasi yang mengatakan peristiwa itu terjadi tapi tidak didukung bukti-bukti, ya hanya sekedar informasi yang tidak bisa kita olah jadi data, kita validasi, jadikan bukti untuk proses penegakan hukum,” imbuhnya.

Saat ini Ditreskrimum Polda Bali masih dalam tahap mengolah informasi itu. Supaya bisa menjadi data, dan data tersebut divalidasi supaya menjadi bukti hukum.

“Kalau ada buktinya, ada laporan, jika ada laporan kita proses begitu. Tapi ingat ya konon katanya kejadian itu 2010. Saya tidak bisa memanggil terduga kalau belum ada korbannya. Kita lidik dulu, betul kah ada peristiwa itu,” jelasnya lagi.

Pihak Polda Bali pun dijelaskannya sudah mendatangi yang diduga TKP. Pun pula sudah bertemu psikiater Prof Suryani yang disebut-sebut memiliki data korban.

“Kami datang ke sana, tidak mungkin ada informasi kemudian kita tidak ke sana. Lakukan penyelidikan. Sudah ketemu juga Prof Suryani. Cuma ingat, beliau kan dokter, psikiater dia punya etika juga merahasiakan pasiennya. Jadi itu juga harus saya hormati. Semua itu ada aturannya, ada informasi tapi jangan abaikan aturan yang ada,” katanya.

“Yang mengetahui data satu orang anak diduga menjadi korban. Tapi jika orang yang diduga menjadi korban dan tidak merasa menjadi korban, apakah saya harus paksakan? Kami juga memiliki anak-anak, bukan berarti kepolisian tidak peduli. Tapi penegakan hukum mempunyai aturan,” tegasnya.

Di sisi lain, Fairan menyayangkan mengapa pada tahun-tahun sebelumnya, orang-orang yang mengetahui kasus ini tidak getol menindaklanjuti. Jika kasus ini dilaporkan tahun 2015 tentu prosesnya lebih mudah.

“Saya juga menyayangkan mengapa waktu 2015 itu orang-orang yang tahu tidak melaporkan ke polisi. Artinya ini membuat kita juga ada sedikit kesulitan. Tapi sekali lagi jika kita temukan korban dan melihat dia bersedia menjadi saksi maka kita akan proses tuntas,” janjinya. foto ilustrasi tribunbali.com

Related Post