ICW: Prabowo dan Jokowi Tak Sentuh Akar Besarnya Indikasi Kerugian Negara di Persoalan SDA dan Energi

Rabu, 20 Februari 2019 | 7:21 am | 344 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

FOTO.Capres nomor urut 01, Jokowi dan nomor urut 02, Prabowo Subianto mengambil pertanyaan dalam debat kedua Calon Presiden 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Ahad, 17 Februari 2019. Terlihat moderator Anisha Dasuki di antara kedua capres. TEMPO/M Taufan Rengganis

TEMPO.COJakarta -Kedua calon presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Prabowo Subianto dinilai tidak menyentuh akar persoalan Sumber Daya Alam dan energi dalam debat capres putaran kedua, yang digelar Minggu, 17 Februari 2019. Yaitu besarnya indikasi kerugian negara di bisnis tersebut.

Sebaliknya lebih banyak membicarakan soal cara mengatasi masalah ekses dari tambang baik lubang bekas tambang maupun perusahaan yang meninggalkan bisnis tanpa bertanggung jawab terhadap lingkungan tempat eksplorasi.

Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mengatakan akan mengejar para pelaku eksploitasi tambang melalui pengadilan internasional. “Kita kejar melalui saluran pengadilan internasional, PBB, Interpol masih banyak jalan,” kata Prabowo.

Dia berjanji akan lebih galak dalam menindak penjahat-penjahat tambang tersebut.
“Ada perusahan besar multinasional sangat kuat, yang di atas hukum tidak takut kepada pemerintah Indonesia dan tidak menaati ketentuan-ketentuan. Tetapi kita juga tahu perusahaan itu sudah tidak ada di Indonesia 30 tahun sudah eksploitasi, berangkat ke luar negeri ini bisa jadi repot, karena itu kita kejar,” katanya.

Prabowo juga menyatakan akan memperketat izin analisis dampak lingkungan atau amdal sebagai salah satu syarat pembangunan infrastruktur dan selanjutnya memisahkan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kehutanan yang dinilai tidak sinkron.

KERUGIAN NEGARA

Sementara capres nomor urut 01, Jokowi menyatakan jika ia memenangkan masa jabatan kedua pemerintah berencana mengimplementasikan program B100. Jokowi mengacu pada bahan bakar yang seluruhnya terbuat dari minyak sawit, setelah tahun lalu mewajibkan untuk menggunakan biodiesel yang mengandung 20 persen bio-konten (B20).

“Kami berharap 30 persen dari total produksi kelapa sawit akan digunakan untuk biofuel. Rencananya jelas, jadi kami tidak akan bergantung pada minyak impor,” kata Jokowi, seraya menambahkan bahwa produksi minyak sawit mentah Indonesia telah mencapai 46 juta ton per tahun.

Berdasarkan kajian ICW pada ekspor komoditas tambang yaitu batu bara, timah dan bijih nikel periode 2007-2017 ditemukan indikasi kerugian negara dari ekspor batu bara selama periode 2006-2016 sebesar Rp 130,334 triliun.

Ekspor timah periode 2007-2017 indikasi kerugian negaranya sebanyak Rp 7,635 triliun dan ekspor bijih nikel dalam periode yang sama indikasi kerugian negaranya sebesar Rp6,793 triliun. Sehingga total indikasi kerugian negara dari ekspor 3 jenis hasil tambang tersebut adalah sebesar Rp 144,762 triliun dengan kurs 1 dolar AS = Rp 14 ribu.

Kerugian itu menurut ICW disebabkan tidak jelasnya visi dan cita-cita pemerintah dalam pengelolaan pangan, energi dan lingkungan hidup. Penyebab lainnya adalah buruknya koordinasi antar-instansi pemerintah terkait yang dampaknya adalah beragamnya versi data resmi yang digunakan.

“Tidak jelasnya perencanaan jangka panjang dan inkonsitensi kebijakan sehingga menciptakan celah dalam regulasi dan kelembagaan yang menyebabkan disparitas tinggi antara harga pangan, energi dalam negeri dengan harga pasar internasional,” ungkap Firdaus Ilyas.

Mengatasi kelemahan transparansi dan akuntabilitas ditambah buruknya pengawasan dan penegakan hukum terkait pengelolaan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat dilakukan sejak perusahaan-perusahaan di bidang energi, SDA dan pangan itu beroperasi di Indonesia.

“Artinya tidak perlu susah payah mengejar ke pengadilan internasional, PBB hingga interpol seperti yang disampaikan capres nomor urut 02.”

Salah satu contoh upaya yang dapat diteruskan dan ditingkatkan adalah Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang diinisiasi oleh KPK bersama dengan 27 kementerian dan lembaga. Penandatanganan Nota Kesepahaman ke-27 kementerian lembaga itu sendiri juga disaksikan oleh Presiden Joko Widodo, Panglima TNI dan Kapolri.

GNSDA melakukan upaya pencegahan di beberapa sektor yaitu (1) Renegosiasi kontrak Kontak Karya Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (KK PKB2B); (2) Pelanggaran good mining practice; (3) penyeludupan bahan tambang keluar negeri; (4) penataan izin usaha pertambangan (IUP); (5) Ketidakpatuhan pelaksanaan kewajiban; (6) Pelanggaran hak-hak sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan masyarakat.

Dari hasil koordinasi supervisi mineral dan batu bara bersama 2014-2017 dengan 6 menteri dan 34 gubernur menghasilkan pengetatan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang Clear and Clean (CnC) oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba Kementerian ESDM.

Bila terdapat IUP yang belum berstatus CnC dan telah melalui proses hukum dari hasil pengadilan maupun instansi yang berwenang maka dapat dimasukkan dalam daftar IUP CnC sehingga jumlah IUP CnC dapat bertambah.

Ditjen Minerba telah mengirimkan surat tanggal 23 November 2017 ke Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU), KPK, Bea Cukai dan Perhubungan Laut terkait status IUP yang CnC maunpun Non CnC pada 12 Februari 2018 blokir IUP 5K berakhir yaitu IUP non Cnc diblokir Ditjen AHU sebanyak 2.509 IUP.

Sedangkan IUP yang SK-nya berakhir sebanyak 3.078 IUP dan IUP yang masuk kategori non-CnC sebanyak 2.509 tidak diberikan layanan kepabeanan oleh Ditjen Bea Cukai dan layanan kesyahbandaran oleh Ditjen Hubungan Laut. 

 

source

Related Post