Akrobat Kutu Loncat dalam Sirkus Demokrasi -2

Selasa, 21 Agustus 2018 | 7:07 am | 369 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

Studi ICW dalam Merebut Kursi, Menguras Bumi (2013), memberi gambaran bahwa pilkada kemudian hanya menjadi momen konsolidasi elit lokal dengan pengusaha. Pilkada menjadi hal yang penting bukan untuk mencari siapa kepala daerah yang dapat membawa daerah lebih baik dari sebelumnya, melainkan momen penting yang menentukan siapa patron elit berkuasa yang akan berelasi dengan pengusaha 5 tahun ke depan. Disinilah terbangun relasi politico-business antara penguasa dengan pengusaha yang bersifat patronase.” (Indonesia Corruption Watch : 2013)

Demokrasi di Indonesia sesugguhnya adalah demokrasi (di bawah kuasa) oligarki. International Ecyclopedia of Social Science menyebutkan bahwa oligarki adalah “bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik berada di tangan minoritas kecil.”(Jeffery Winters: 2011)

Kaum oligarkis memakai sumber daya material mereka untuk berkuasa. Kekayaan adalah sumber kekuatan yang menentukan kaum oligarkis terlibat dalam politik dan menjadi oligarki. Jeffery Winters dalam karyanya, Oligarki (2011) menekankan pentingnya kekayaan dalam sistem oligarki,“Kumpulan kekayaan yang besar dan terkonsentrasi di tangan sebagian kecl anggota masyarakat mewakili sumbr daya kekuasaan yang bukan hanya tak tersedia bagi yang tak memiliki harta, tetapi juga jauh lebih luwes dan kuat daripada sumber daya kekuasaan formal atau prosedural seperti hak pilih yang setara bagi semua orang…”

BACA PULA SEBELUMNYA  Akrobat Kutu Loncat dalam Sirkus Demokrasi

 

Permainan dalam kekuasaan di tangan oligarki ini akan terus terjadi selama para politisi di Indonesia dan partai-partai politik masih bersikap pragmatis. Praktek suap, jual-beli suara, manipulasi akan terus mewarnai politik di Indonesia selama pragmatisme menjadi penentu dalam gerak langkah partai. Pragmatisme partai membuat mereka menoleh kepada figur-figur yang dapat dijadikan mesin pendulang suara. Oleh sebab itu tak heran ketika banyak artis, selebriti mendadak menjadi politisi.

“Politik yang bertumpu pada calon menjadikan partai sekedar tunggangan kepentingan sesaat. Jika sudah tak mampu memenuhi hasrat sang politisi, maka fenomena kutu loncat politik menjadi pilihan,” demikian jelas Burhanuddin Muhtadi (2013) dalam Politk Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi Antara “Party-ID” dan Patron-Klien.”

Partai tak lebih dari sekedar sarana nir-ideologis mencari kekuasaan. Padahal unsur ideologis adalah pondasi penting dalam politik. Baik individu maupun partai. Bahkan unsur ideologis partai salah satu yang menjauhkan partai-partai dari politik uang. Ideologi bagi satu partai mencakup satu identitas tertentu. Bagi para pemilih, perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identtas politiknya (party-ID) dapat menjadi faktor penting. Party-ID merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi itu sendiri. (Burhanuddin Muhtadi: 2013)

Pemilih yang pragmatis dan tak memiliki loyalitas terhadap satu partai akan lebih mudah tergoda politik uang. Sebaliknya, jika identifikasi pemilih terhadap suatu partai tinggi, maka semakin kecil sikap penerimaannya terhadap praktik politik uang. (Burhanuddin Muhtadi: 2013)

Partai dengan positioning dan difrensiasi ideologi (seharusnya) tidak akan bersikap abu-abu dalam berbagai isu. Ketimbang mengandalkan mobiliasi finansial, entah itu iklan, pencitraan, branding, atribut kampanye atau jual beli suara, mereka akan berfokus pada perjuangan ideologinya yang diimplementasikan dalam kinerja partai.

Sayangnya bukan itu yang terjadi di Indonesia saat ini. Satu survei dai Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2017 menyebutkan bahwa hanya 1 dari 10 pemilih di Indonesia yang memiliki kedekatan dengan partai. Selanjutnya ikatan dengan partai ini pun harus kita cermati lagi, apakah ikatan tersebut hanya berdasarkan nostalgia partai atau tokoh semata? Ataukah partai tersebut benar-benar ideologis dan menjadi landasan program partai tersebut?

Melihat kenyataan saat ini, yang tampak di depan kita justru partai dan politisi justru semakin berkelamin politik yang abu-abu. Tak tampak perjuangan ideologis dalam langkah-langkah mereka. Fenomena politisi kutu loncat, koalisi pragmatis, jual-beli suara, suap dan korupsi, obral izin pengelolaan sumber daya alam menghiasi lini masa dan berita.

Demokrasi inilah yang terjadi di Indonesia. Kita seperti menonton pertunjukan sirkus. Ada akrobat politisi pencari sensasi. Ada semburan komentar-komentar bombastis yang berapi-api. Lompatan-lompatan politisi (kutu loncat) yang memukau. Gemerlap kostum dan penampilan politisi dalam sorot lampu (media). Aksi-aksi yang seakan-akan bernyali, padahal tak lebih dari aksi teatrikal. Semua dikemas secara meriah. Dalam satu bungkus yang dilabeli sebagai ‘demokrasi.’ Kita semua terpana, terhibur dan terpikat. Merasa puas. Ketika lampu telah dimatikan dan penonton pulang, para pemodal tersenyum menghitung keuntungan hasil pertunjukan. Pertunjukan sirkus yang bernama ‘demokrasi.’

Di sinilah kita menanti agar politisi muslim dan partai Islam tak ragu dan malu untuk mengusung Islam sebagai ideologinya dalam berpolitik. Ia bukan saja harus meyakinkan pemilihnya, tetapi paling penting meyakinkan dirinya bahwa Islam sebagai ideologi mampu menjawab berbagai persoalan termasuk persoalan seperti keadilan sosial, kesejahteraan dan lainnya. Sehingga berpolitik dengan ideologi Islam bukan sekedar jargon dan simbol belaka. Dan tak berkabung dalam kawanan ‘pemain sirkus’.

Related Post

It seems we can’t find what you’re looking for. Perhaps searching can help.