Mencintai Idola yang Kafir

Selasa, 18 Desember 2018 | 7:06 am | 331 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

 

Foto: Ilustrasi.

www.SUARAKALTIM.com – Semakin maraknya Piala Dunia menambah angka besarnya perhatian mata manusia dari umurnya. Tak terkecuali umat Islam yang tinggal di negara-negara belahan bumi selatan walau minim perwakilan. Hal ini menyebabkan mereka terjebak pada kecintaan terhadap idola hingga menjadi panutan hidupnya.

Lalu, bagaimanakan Islam memandang fenomena ini? Karena kenyataannya mereka tidak hanya sekedar mengidolakannya, namun juga mencintainya. Lebih masalah lagi, jika yang menjadi kecintaanya itu adalah orang kafir yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhannya.

Dalam hal ini, Islam tidak serta merta melarang untuk mencintai orang kafir. Namun, Islam memperinci antara boleh dan tidaknya mencintai orang kafir. Karena Islam membagi dua macam mencintai orang kafir, yaitu :

1) Cinta sejati

Cinta ini contohnya mencintai orang kafir karena kekafirannya, atau mencintai orang fasik karena kefasikannya. Cinta ini tidak diperkenankan bagi seorang muslim, bahkan diwajibkan untuk membencinya karena kekafiran yang dilakukannya, walaupun itu adalah bapak, ibu atau saudaranya.

Allah berfirman :

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. al-Mujadalah : 22)

Dan firman Allah :

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. al-Mumtahanah : 4)

Inilah yang disebut dengan benci karena Allah. Sebagaimana dalam hadist :

أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْحُبُّ فِي اللَّهِ ، وَالْبُغْضُ فِي اللَّهِ

“Tali Iman yang paling kuat ; cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ahmad 4/286)

2) Cinta alami

Cinta ini seperti kecintaan orang tua kepada anaknya, anak kepada orang tuanya, dsb. Cinta ini tidak dianggap sebagai bentuk ibadah. Naluri yang tertanam dalam diri semacam ini, manusia tidak bisa mengelaknya. Sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membagi malam-malamnya bersama istri dengan adil, namun tidak bisa membagi cintanya dengan rata.

Beliau bersabda :

اللَّهُمَّ هَذِهِ قِسْمَتِي فِيمَا أَمْلِكُ ، فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ

“Ya Allah, Ini pembagian yang bisa saya sanggupi, maka janganlah engkau memaksakan hati saya untuk sesuatu yang engkau mampui sedangkan aku tidak mampu untuk melakukannya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1121)

Istri-istri nabi yang paling dicintai adalah Aisyah, beliau tidak kuasa dan tidak mampu membagi cintanya dengan rata.

 

Al-Khattabi berkata, “Cenderung yang dilarang adalah cenderung kepada salah satu keluarga dengan mengabaikan hak-haknya, bukan cenderungnya hati. Karena kecenderungan hati tidak ada manusia yang mampu mengendalikannya.

Rasulullah shalallah ‘alaihi wa sallam membagi waktunya untuk istri-istrinya sama. Beliau bersabda, “Ya Allah, Ini pembagian yang bisa saya sanggupi, maka janganlah engkau memaksakan hati saya untuk sesuatu yang engkau mampui sedangkan aku tidak mampu untuk melakukannya.”

Maka turunlah ayat :

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَة

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” QS. An-Nisa’ : 129. (Ma’alim as-Sunan, hlm. 218-219)

Cinta alami ini tidaklah manusia mampu mengendalikannya. Sebagaimana Allah menurunkan ayat tentang kecintaan Nabi kepada pamannya, Abu Thalib, yang masih kafir ;

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi.” (QS. al-Qishash : 56)
Tentang ayat ini, Al-Utsaimin berkata, “Yang dimaksud adalah paman Nabi, Abu Thalib dan lainnya. Dan bolehnya Nabi mencintai pamannya, Abu Thalib, sebagaimana seorang keluarga mencintai keluarganya. Dan syari’at tidak melarang cinta macam ini.” (Al-Qaul Al-Mufid, 1/349)

Maka seorang muslim tidak dilarang mencintai orang tuanya atau kerabatnya yang kafir dengan cinta alami yang muncul dari naluri keluarga. Boleh juga mencintai orang kafir karena banyaknya kebaikannya, namun dilarang menyertakan cinta sejati. Karena wajib seorang muslim membenci mereka disebabkan kekafirannya. Karena memusuhi dan membenci mereka karena kekafirannya dengan mencintai mereka karena masih kerabat keluarga bukanlah suatu hal yang kontradiktif.

Kemudian, wajib baginya berbuat baik kepada orang tuanya yang kafir, berlaku ihsan dalam segala interaksi secara umum. Walaupun mereka pelaku syirik yang kental dengan kesyirikannya. Menggauli mereka dengan baik dan ihsan dengan menolak taat kepada mereka pada maksiat merupakan jalan orang-orang yang taat kepada Allah.

Allah berfirman :

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqman : 15)

Dengan demikian, mencintai mereka yang kafir dalam hal mubah, seperti karena baiknya mereka dalam bermain bola tidaklah masalah. Namun, jika mencintai dan mengidolakan mereka karena kekafiran dan maksiatnya, maka ini haram. Dan perlu hati-hati bagi muslim yang mengidolakan orang kafir untuk tidak meng-like atau mem-follow kegiatan mereka yang berbau kekufuran dan maksiat.

Wallahu ‘alam bish showab…

Zamroni
Sumber: Islamweb/Fatwa

Related Post