Ini Instrumen yang Diduga Sebabkan Kecelakaan Lion Air JT 610

Rabu, 31 Oktober 2018 | 6:52 pm | 332 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     
 
 
Pipa Pitot pada sebuah pesawat. Instrumen ini berfungsi mengukur kecepatan pesawat saat terbang. [Shutterstock]

Para pakar keselamatan penerbangan menekankan bahwa investigasi kecelakaan Lion Air JT 610 masih dalam tahap awal dan terlalu dini untuk menyimpulkan penyebab kecelakaan.

 

www.SUARAKALTIM.comMisteri jatuhnya pesawat Boeing 737 MAX 8 milik Lion Air bernomor registrasi PK-LQP di Tanjung Karawang, Jawa Barat pada Senin pagi belum juga terungkap.

Hingga Selasa (30/10/2018), tim SAR masih terus mencari pesawat bernomor penerbangan JT 610 yang membawa 189 orang itu, meski sejumlah spekulasi tentang penyebab jatuhnya pesawat tersebut sudah banyak beredar di publik.

Para pakar keselamatan penerbangan menekankan bahwa investigasi kecelakaan itu masih dalam tahap awal dan terlalu dini untuk menyimpulkan atau berspekulasi soal penyebab kecelakaan.

Tetapi beberapa pilot dan teknisi penerbangan, kepada Reuters mengatakan bahwa berdasarkan data yang dikumpulkan website pemantau penerbangan sipil Flightradar24, kecelakaan itu kemungkinan disebabkan oleh pitot static system.

Pitot static system terdiri dari instrumen-instrumen yang sangat sensitif terhadap tekanan dan berfungsi untuk memberikan informasi tentang kecepatan pesawat di udara (airspeed) serta ketinggian pesawat kepada pilot.

“Perubahan-perubahan besar ketika menanjak atau menukik di waktu-waktu awal penerbangan itu membuat saya berpikir soal unreliable speed,” kata seorang pilot dari maskapai berbeda yang menolak identitasnya diumbar.

Unreliable speed yang dimaksud di sini adalah ketika pitot static system tak memberikan informasi yang tepat soal kecepatan pesawat kepada pilot.

Data dari FlightRadar24 menunjukkan bahwa sejak awal ada yang aneh pada JT 610. Dua menit setelah tinggal landas, pesawat itu mencapai ketinggian sekitar 2.000 kaki.

Pada titik itu, pesawat kemudian turun lebih dari 500 kaki dan berbelok ke kiri sebelum naik lagi ke 5.000 kaki. Pesawat nahas itu berada di ketinggian tersebut selama beberapa menit ke depan

Pesawat kemudian menambah kecepatan dan mencapai kecepatan 345 knots (638,9 km/jam) sebelum hilang di ketinggian 3.650 kaki.

“Mereka terbang lebih cepat dari yang seharusnya,” kata pilot kedua juga dari maskapai berbeda.

Apa itu Pipa Pitot?

Pipa pitot sendiri adalah pipa ramping berlubang yang biasa ditemukan pada sayap atau tubuh pesawat. Fungsinya untuk mengetahui kecepatan pesawat di udara (airspeed), sebuah fungsi yang sangat vital bagi pilot untuk mengemudikan pesawat.

Jika terlalu pelan, maka pesawat akan jatuh. Tetapi terlalu cepat, maka pesawat bisa pecah berkeping-keping.

Setiap pipa, demikian tulis The New York Times, memiliki dua lubang. Pertama, lubang yang terletak di depan tempat udara mengalir dan sebuah lubang lagi di sisi pipa.

Pipa itu bekerja dengan cara mengukur perbedaan tekanan stagnasi di bagian depan pipa dengan tekanan statis pada sisi pipa. Beda tekanan itu bisa menentukan kecepatan pesawat di udara.

Pipa itu mengambil nama Henri Pitot, seorang ilmuwan Prancis dari abad 18 yang menemukan instrumen untuk mengukur kecepatan aliran sungai.

Masalah pada pipa pitot inilah yang juga diyakini sebagai biang kerok jatuhnya pesawat Air France bernomor penerbangan 447 di Samudera Atlantik pada 2009.

Para investigator mengatakan bahwa akibat adanya kristal es yang menutup lubang pipa, sistem komputer pesawat gagal menghitung dengan tepat kecepatan pesawat dan menyebabkan pilot keliru bereaksi. sk-011/suara.com

Related Post