Karakter Umat Pilihan: Tunduk Kepada Aturan Allah

Sabtu, 26 Mei 2018 | 6:10 am | 448 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     
 

KIBLAT.NET – “Wahai Rasulullah, sungguh kami ini telah beriman kepadamu, telah seratus persen meyakini agama dan telah mengakui kebenaran agama yang engkau bawa kepada kami. Kami telah bersumpah setia untuk melaksanakan semua yang telah kami janjikan kepadamu. Oleh karena itu, segeralah laksanakan apa yang telah menjadi keputusanmu, ya Rasulullah, dan kami setia kepadamu. Demi Allah yang telah membangkitkanmu dengan membawa kebenaran, kalau engkau perintahkan kami untuk mengarungi lautan ini (perang), niscayalah kami arungi bersamamu..,”

Penggalan kalimat yang tegas ini diungkapkan oleh Saad bin Muadz sebelum Perang Badar. Saat itu, Nabi SAW khawatir dengan kondisi para sahabat yang harus berhadapan dengan ribuan kaum Quraisy. Sementara para sahabat hanya berjumlah 313 orang saja dengan peralatan senjata yang tidak memadai. Namun kekhawatiran itu berlalu dengan ungkapan keberanian yang ditunjukkan oleh para sahabat Anshar. Benar saja, Peperangan itu pun berlangsung dan para sahabat berhasil meraih kemenangan.

Keteguhan para sahabat dalam berjuang memang tidak ada bandingannya. Mereka layak disebut generasi pilihan. Generasi yang telah teruji keimanannya. Semua hidupnya dipertaruhkan demi kejayaan Islam. Mereka mencintai AllahTa’ala dan Allah pun cinta terhadap mereka. Hidup mereka selalu dalam keberkahan dan keridhaanNya. Karena itu, Abdullah bin Mas’ud mengungkapkan:

“Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (Imam Ahmad dalam al-Musnad, I/379, no. 3600)

Kehadiran para sahabat sebagai generasi terbaik dengan karakteristik unggul ini tidaklah hadir dengan serta merta. Namun ada proses penanaman karakter yang berjalan sekian lama. Sentuhan tarbiyah yang diberikan oleh Rasul mampu menanamkan karakter-kerakter pejuang dalam diri mereka hingga akhirnya mereka mampu menjayakan Islam. Di antara bentuk karakter tersebut ialah kejujuran mereka terhadap iman yang diikrarkan di hadapan Nabi SAW.

Tunduk Terhadap Syariat Bukti Kejujuran Iman

Kejujuran dalam beriman akan melahirkan amal yang ikhlas. Sifat ini menjadi tuntutan utama yang harus dijiwai oleh setiap umat Islam. Apapun bentuk amalannya, keikhlasan harus selalu diutamakan. Sebab, percuma dan nihil hasilnya jika amalan jauh dari keikhlasan. Tuntutan ini berulang kali diingatkan dalam ayat al-Qur’an. Di antaranya:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, ..” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Ikhlas dalam beribadah yang dituntut tidak hanya ucapan di lisan atau sebatas pengetahuan semata. Namun perintah itu benar-benar dihadirkan dalam amal nyata. Yaitu meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang pantas untuk menggantungkan segala pengharapan, beribadah hanya kepadaNya semata dan siap melaksanakan seluruh syariat yang diturunkanNya tanpa ada kata “tapi”.

Konsekuensinya, siapa pun yang jujur dengan keimanannya, ia pasti akan meninggalkan kesyirikan dalam bentuk apa pun juga. Tunduk sepenuhnya dengan hukum dan ketatapan Allah ta’ala. Ia pantang melakukan sesuatu yang bertentangan atau menandingi aturan yang telah ditetapkan Allah. Baginya, semua persoalan hidup tidak boleh lepas dari tuntunan Al-Qur’an dan As-sunnah.

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-syura: 21)

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al-‘Araf: 3)

Lafaz diin dalam surat Asy-Syura di atas dan perintah mengikuti apa yang diturunkan Allah dalam surat al-Araf, keduanya tidak hanya berkaitan dengan persoalan keyakinan atau syiar ibadah semata. Namun kedua ayat ini mencakup persoalan tahlil (menghalalkan/membolehkan) dan tahrim(mengharamkan/melarang). Dari sini dapat disimpulkan bahwa siapa pun yang jujur dengan keimanannya, ia mesti harus memerhatikan tiga hal; bagaimana kelurusan akidahnya, ibadahnya dan aturan hidupnya. Ketika ketiga hal ini tidak bersumber dari yang telah Allah tetapkan, maka ada yang cacat dalam imannya. Belum ada rasa untuk totalitas dalam menerima konsekuensi iman. Dan ini pertanda keimanannya tidak jujur. Perhatikan bagaimana Allah menceritakan keyakinan orang-orang musyrik zaman dahulu:

وَقَالَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا عَبَدْنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ شَيْءٍ نَحْنُ وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ شَيْءٍ

“Dan orang musyrik berkata, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya..,” (QS. An-Nahl; 35)

Lalu, ketegasan ini Allah sebutkan lagi ketika menyebutkan ciri-ciri orang munafik yang tidak mau totalitas dalam beriman. Menerima hukum Allah sebagai aturan hidup menjadi standar keimanan seseorang. Karena itu, ketika ada yang tidak rela diatur seluruh persoalannya hidupnya dengan hukum Allah, maka Allah sebutkan sebagai orang munafik yang tidak jujur dalam beriman.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا

“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.”(QS. An-Nisa: 61)

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)

Dalil di atas semakin memperjelas bahwa ibadah yang diharapkan oleh Allah dari hambanya adalah meyakini ke-Esaan Allah dalam hal uluhiyah dan rububiyah. Tidak cukup hanya perkara ibadah mahdhah seputar shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Namun juga mencakup seluruh aspek hidup lainnya. Baik dalam urusan politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Dalam semua aturan itulah, Allah Ta’ala hendak menguji kejujuran iman seseorang. Siapkah dia menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menetapkan undang-undang? Atau masih ada rasa memilah-milih sesuai dengan keinginan hawa nafsunya?

 

Iman yang Jujur = Perjuangan yang Ikhlas

Kejujuran iman juga ditandai dengan keikhlasannya dalam berjuang. Tulus mengharap balasan dari Allah semata tanpa menginginkan keuntungan apa pun dari manusia. Demi agama, apa pun siap dikorbankan. Sikap seperti ini biasa ditunjukkan oleh para sahabat dalam berjuang bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam sebuah riwayat dari Imam An-Nasai tersebutlah sebuah kisah tentang arab badui yang berperang bersama nabi. Dikabarkan pada Perang Khaibar, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membagikan ghanimah kepada kaum muslimin. Nabi memberikan bagian kepada para sahabat yang membuat mereka bergembira, akan tetapi ketika pembagian sampai kepada si Badui, tiba-tiba dia menolaknya sembari berkata, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Ini adalah bagian ghanimah untukmu yang berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.”

Mendapatkan jawaban para sahabat, si Badui terpaksa mengambil bagian ghanimah itu tetapi kemudian dia menghadap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.Sesampai di hadapan Nabi, si Badui bertanya, “Harta apakah ini?” “Ini adalah bagian ghanimah yang aku bagi untukmu.” jawab Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Kembali orang Badui itu berkata, “Bukan karena perkara ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu karena aku ingin agar suatu saat nanti aku terkena lemparan panah di sini—sambil menunjuk ke lehernya—sehingga aku terbunuh dan masuk jannah karenanya.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau jujur kepada Allah, maka Allah akan membenarkanmu.”

Benar saja, setelah perang berikutnya berlalu, ia pun mencapai apa yang diinginkannya. Ia syahid sebagaimana yang dicita-citakannya. Para sahabat mendapati jasadnya dalam keadaan lehernya tertusuk anak panah. Tepat seperti yang diucapkannya di hadapan Nabi. Karena itu, jenazahnya pun oleh nabi dikafankan dengan jubah beliau. Lalu beliau, bersabda, “Ya Allah, ini adalah hamba-Mu. Dia keluar dalam rangka berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid dan aku menjadi saksi atasnya,” (HR. An-Nasa’i)

Kisah di atas hanyalah salah satu di antara sekian banyak kisah pengorbanan para sahabat. Keikhlsan dan Keteguhan dalam berjuang lahir dari konsekuensi iman yang mereka yakini secara jujur. Tidak seperti orang-orang munafik. Bagi mereka, konsekuensi Iman itu tidak bisa dijalankan dengan cara setengah-setangah. Tapi harus diwujudkan secara totalitas. Tunduk sepenuhnya dengan ketentuan syariat yang Allah turunkan. Karena demikianlah bentuk ungkapan iman yang Allah Ta’ala harapkan dari para hambaNya. Wallahu a’lamu bissowab

 

Fakhruddin/Foto: Sujud, Simbol ketundukan kepada Allah/kiblat.net

Related Post