Mengapa Masjid Dipisahkan dari Politik?

Rabu, 9 Mei 2018 | 5:36 am | 446 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     
 

SUARAKALTIM.com – Ide memisahkan masjid dari politik di Indonesia ini lebih dulu merupakan gagasan Snouck Hurgronje. Ketika pemerintahan Belanda kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Indonesia, mereka mencari cara untuk melemahkannya. Maka, Snouck menyarankan supaya pemerintah Belanda memberlakukan peraturan bahwa masjid hanya untuk tempat ritual ibadah. Ini adalah bentuk pembodohan supaya umat alergi dengan politik dan melihat politik sebagai racun agama.

Keterangan-keterangan di atas telah membantah anggapan tersebut, termasuk kelompok atau perorangan yang melarang pembahasan politik di masjid. Pandangan seperti itu justru akan melemahkan umat Islam, terkhusus lemahnya kesadaran umat Islam akan politik Islam. Hasilnya, masjid hanya untuk tempat ibadah ritual saja.

Sebaliknya, seharusnya masjid dijadikan tempat untuk menyadarkan umat Islam akan pentingnya politik dan bagaimana Islam mengatur urusan politik. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat di Madinah. Karena masjid merupakan pondasi awal pembangunan komunitas dan keumatan.

Sebab itulah, Rasulullah melihat terlebih dahulu adanya suara adzan sebelum memerangi suatu negeri. Karena, jika suatu negeri dikumandangkan adzan, maka itu tanda adanya umat Islam di daerah tersebut. Yaitu komunitas umat Islam yang masjid menjadi pusat kegiatannya.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا غَزَا قَوْمًا لَمْ يُغِرْ حَتَّى يُصْبِحَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ بَعْدَ مَا يُصْبِحُ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan menyerang suatu kaum, tidaklah Beliau menyerang sehingga datang waktu Subuh. Jika Beliau mendengar adzan, maka Beliau menahan diri. Dan jika tidak mendengar adzan, maka Beliau mulai menyerang setelah waktu Subuh”. (HR Bukhari no. 2725)

 

Politik adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam Islam. Islam tidak hanya mengatur urusan-urusan ibadah saja, bahkan hal yang sangat kecil, seperti keluar masuk WC saja diatur dalam Islam. Jika hal yang kecil saja diatur dalam Islam, apalagi urusan yang besar seperti politik yang menyangkut urusan banyak orang.

Sudah dimaklumi, konsekuensi dari paham sekuler adalah memisahkan politik dari agama, termasuk rumah ibadah. Karena pemahaman ini dilandasi dari pemikiran bahwa agama tidak ada hubungannya dengan politik, sedangkan bagi seorang muslim, syariat Islam adalah landasan utama dalam berpikir, berkata dan bertindak.

Apakah Politisasi Masjid dibenarkan?

Jika yang dimaksud dengan politisasi masjid adalah memanfaatkan masjid untuk berburu kepentingan politik sesaat, baik perorangan atau kelompok, maka ini suatu tindakan yang kurang beradab terhadap masjid. Karena masjid hanya akan menjadi alat atau tunggangan partai atau kelompok tertentu. Bukan untuk menyadarkan umat akan pendidikan politik Islam. Malah memanfaatkan masjid untuk kepentingan politik semata.

Hal ini bisa dilihat dari adanya partai atau tokoh politik yang tidak memiliki visi Islam dan hari-harinya jauh dari kehidupan Islam, secara mendadak menjadi manusia-manusia religius. Baju koko menjadi trending dalam foto-foto kegiatan kampanyenya, jilbab menjadi hiasan pemanis muka menjelang pencalonannya. Termasuk masjid-masjid yang tidak luput dari jeratannya, supaya jamaah merekomendasikan dirinya.

Di sisi lain, sebelum musim kampanye, jangankan rutin ke masjid, kemampuannya mengucapkan kalimat-kalimat dzikir saja dipertanyakan. Terlebih ketika sebelumnya menjabat, kebijakan-kebijakannya kerap merugikan umat Islam. Lebih parah lagi, mereka dikenal dengan anti Islam atau Islamophobia.

 

Mental yang demikian merupakan mental orang munafik. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan :

مِنَ النِّفَاقِ اِخْتِلاَفُ القَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَاخْتِلاَفُ السِّرِّ وَالعَلاَنِيَّةِ ، وَاخْتِلاَفُ الدُّخُوْلِ وَالخُرُوْجِ

“Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/490)

Politisasi masjid seperti ini yang bertentangan dengan fungsi masjid. Inilah bentuk kampanye terselubung yang tidak relevan. Sehingga, politisasi yang seperti ini harus dijauhkan dari masjid-masjid.

Dengan demikian, gerakan anti politisasi masjid tidak bisa dibenarkan. Sebaliknya, masjid harus menjadi pusat penyadaran politik dan pendidikan politik Islam, agar umat Islam paham seperti apa aturan politik dalam Islam dan bagiamana konsekuensi dari siyasah syariyah yang notabene adalah perwujudan dari syariat Islam. Wallahu ‘alam bish showab.

Penulis: Zamroni

Related Post