Tokoh Pers Kaltim Horas Siregar, 2 Kali Dipenjara Belum Jera,  Ketiga Kalinya Diusir Kolonial Belanda dari Kaltim

Minggu, 17 Maret 2019 | 12:09 pm | 486 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

Gaya Wartawan Tempo Doeloe. Tampak wartawan Ardin Katoeng (Kedua dari kiri). Paling kiri Pangeran Poeger, putra Sultan Kutai AM Parikesit. Tampak pula Syahranie Syafei, wartawan Masjarakat Baroe dan LKBN Antara, yang sedang baca koran. Foto saat peresmian lokasi transmigrasi Pulau Atas, Samarinda  1955 (ketika itu Pulau Atas masuk dalam wilayah daerah istimewa Kutai). Foto koleksi Oemar Dachlan.

SALAH  satu tokoh pers Kaltim adalah Horas Siregar. Dari namanya berasal dari Sumatera Utara.  Nama koran yang diterbitkannya Panggilan Waktoe. Koran yang terbit 2 kali sebulan. Sebelumnya Panggilan Waktoe terbit di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Kemudian  Horas pindah ke Samarinda, dan Panggilan Waktoe tetap terus terbit di Samarinda.

Oemar Dachlan, tokoh pers Kaltim,  menyebutkan Horas Siregar  mempunyai watak yang keras. Dia seorang nasionalis. Isi korannya;  berisi propaganda melawan penjajahan Belanda.  Tulisan-tulisan di Panggilan Waktoe mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda yang menjajah Indonesia.

‘’Mungkin karena usianya yang masih muda,’’ kata Oemar Dachlan.

Baru terbit beberapa nomor, Horas Siregar sudah terkena perdelict oleh Landraad Samarinda dia dijatuhi hukuman penjara yang harus dijalani di penjara  Sukamiskin Bandung.

Keluar dari penjara Sukamiskin Bandung,  apakah Horas Siregar jera?  Ternyata tidak. Horas kembali aktif menerbitkan koran .  Tapi kali ini namanya koran Kalimantan Timoer.

Sama dengan koran koran Panggilan Waktoe, koran Kalimantan  Timoer yang diterbitkan Horas Siregar  ini juga “dijadikan senjata” untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial  Belanda.  Isi korannya propaganda dan masih tetap mengobarkan semangat untuk melawan kolonial Belanda.

Untuk kedua kalinya, Horas Siregar berurusan dengan hukum, yang dibuat  kolonial Belanda.  Di dalam koran Kalimantan Timoer ada  tulisan berjudul  Impian Indonesia Merdeka. Penulisnya Dawat Setitik, nama samaran. Belum diketahui persis,  siapa Dawat Setitik itu. Oemar Dachlan pun tidak menyebutkan, siapa nama asli dari Dawat Setitik.  Tidak menutup kemungkinan,  bisa jadi penulisnya Horas Siregar sendiri.

Tapi karena di koran Kalimantan Timoer , Horas Siregar diketahui sebagai penanggung jawab/pemimpin redaksi, maka  tulisan tersebut tanggung jawabnya.  Horas Siregar kembali dihukum dan harus menjalani penjara di Sukamiskin Bandung.

Usai menjalani hukuman yang kedua kalinya, Horas Siregar kembali ke Kalimantan Timur. Tapi tidak kembali ke Samarinda, melainkan ke Balikpapan. Dia menetap di Balikpapan dan bikin koran lagi.

Seperti Panggilan Waktoe yang dibredel kolonial Belanda, koran Kalimantan Timoer juga dilarang terbit kembali.  Horas Siregar pun kembali bikin koran namanya Warta Oemoen.

Sama seperti  2 koran yang telah diterbitkan sebelumnya,  koran Warta Oemoen  berisikan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Warta Oemoen bukanlah koran yang memuji penguasa.  Warta Oemoen adalah koran yang berpihak ke rakyat.

Warta Oemoen banyak mengeritik BPM (Bataafssche Petroleum Maatschappi), sebuah perusahaan minyak  Belanda, yang berkedudukan di Balikpapan.  Sejak terbit Warta Oemoen bikin gelisah BPM. Terbit beberapa kali, akhirnya atas desakan BPM, perwailan pemerintah Hindia Belanda di Balikpapan kembali menghukum Horas Siregar karena isi korannya,  Warta Oemoem,  “menganggu” BPM.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian memutuskan istilahnya dulu menurut Oemar Dachlan, Horas Siregar dipesona-non-gratakan,. Itu artinya,  Horas Siregar diusir. Tidak hanya harus keluar dari kota Balikpapan, tapi juga harus meninggalkan  Oost Borneo (Klimantan Timur).

Horas Siregar pergi dari Kalimantan Timur. Tujuannya tidak pulang kampung, ke tempat asalnya Sumatera Utara. Horas Siregar ke Palu dan menetap lama di salah satu daerah Propinsi Sulawesi Tengah tersebut.

‘’Semenjak tahun 1938 saya tidak pernah lagi bertemu dengan Horas Siregar. Terakhir, setelah lebih dari 40 tahun,  secara tak terduga, saya bertemu dengan Horas di Jakarta. Ketika itu acara peluncuran buku berjudul Jagat Wartawan Indonesia, penyusun Soebagijo IN, yang diterbitkan Gunung Agung.  Buku Biografi tersebut memuat 111 wartawan tiga zaman, termasuk saya,’’ sebut Oemar Dachlan.

Semenjak pertemuan di acara peluncuran buku  Jagat Wartawan Indonesia di Gedung Kebangkitan Nasional eks Gedung Stovia di Jalan dr Abd rahman Saleh, Jakarta, Oemar Dachlan tidak pernah bertemu dan mengetahui keberadaan Horas Siregar lagi.  {Akhmad Zailani}

(sumber  : tulisan H.Oemar Dachlan berjudul Riwayat Singkat Pers di Kalimantan Timur (Sampai berakhirnya kekuasaan Belanda pada akhir tahun 1949).

 

BACA PULA :

 

Related Post