Sejarah DPRD Samarinda, Awal Pembentukan DPRD Peralihan-DPRD GR Sebelum Pemilu Tahun 1971

Jumat, 15 Maret 2019 | 11:47 am | 2892 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

Oleh :   Akhmad Zailani

SuaraKaltim.com Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda yang pertama adalah Letkol Ngoedio BcHk  (pangkat terakhir kolonel).  Saat itu masih disebut  DPRD Peralihan Kotapraja Samarinda.  DPRD Peralihan adalah lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk sebelum terbentuknya  DPRD Gotong Royong (GR). 

DPRD Kotapraja Samarinda terbentuk tanggal 22 September 1961, setelah dikeluarkan ketetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 (disempurnakan) dan Surat Keputusan Gubernur KDH Provinsi Kalimantan Timur Nomor 14/Des/1961 Tanggal 22 September 1961 dengan nama DPRD Gotong Royong (GR), beranggotakan 15 orang (sesuai ketentuan yang digariskan Undang Undang Nomor 27 tahun 1959

Letkol Ngoedio yang menjabat sebagai wali kotapraja  ditunjuk sekaligus sebagai Ketua DPRD Peralihan.

Ngoedio menjabat sebagai walikota Samarinda yang ke dua (1961-1971), menggantikan Kapten Soedjono AJ, walikota Samarinda yang pertama (1960-1961) dan ketika menjabat sebagai walikotapraja berpangkat kapten (pangkat terakhir adalah kolonel).

Semasa Soedjono menjabat sebagai walikotapraja, belum ada terbentuk lembaga perwakilan rakyat di Samarinda. 

Serah terima wilayah, yang termasuk dalam wilayah kotapraja Samarinda tanggal 21 Januari 1960. Sebelum itu, Samarinda, juga Balikpapan masih menjadi bagian wilayah Daerah Istimewa (DI) Kutai. Serah terima wilayah melalui sidang khusus DPRD DI Kutai di Tenggarong, dengan berdasarkan UU darurat nomor 3 tahun 1955 (Lembaran Negara No. 47 Tahun 1953). Tanggal dan bulan serah terima wilayah itu, akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Pemerintah Daerah Kotapraja Samarinda dan setiap tahun diperingati.  Kapten Soedjono AJ, yang menandatangani naskah serah terima wilayah, sehari sebelumnya, tanggal 20 Januari 1960 dilantik sebagai walikota Samarinda yang pertama. Soedjono sempat menjabat walikota Samarinda selama 20 bulan, yaitu sejak Januari 1960 hingga Agustus 1961.

Letkol Ngoedio sebagai Ketua DPRD Peralihan, didampingi wakil Ketua Busrani Hn. Letkol Ngoedio didampingi Busrani Hn menjabat sebagai pimpinan DPRD Peralihan hingga tahun 1965. Sampai dengan diberlakukannya undang-undang

Sebelum menjabat sebagai wali kota, Ngoedio bertugas di Dinas Kehakiman Daerah Militer (DAM) IX Mulawarman. Dia sempat merangkap jabatan hingga tahun 1965 hingga diberlakukannya Undang-undang  Pokok pemerintahan Daerah Nomor 18 Tahun 1965 dan sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1965 tentang Penyempurnaan DPRD Gotong Royong. Jumlah anggota yang semula 15 orang, kemudian ditambah menjadi 25 orang, termasuk 1 orang ketua dan 2 orang wakil ketua DPRD GR.[2]

Selanjutnya,  dalam suatu sidang khusus DPRD peralihan dilangsungkan serah terima jabatan Ketua DPRD peralihan dari Letkol Ngoedio kepada Wakil Ketua Bustani Hn.  Bustani menjabat sebagai Pj Ketua DPRD peralihan  sampai terpilihnya Ketua DPRD GR yang baru.

Sejarah DPRD GR kotapraja Samarinda  terkait dengan  DPR GR, yang dibentuk Presiden Soekarno. Selain DPR GR, Soekarno juga membentuk MPR Sementara (MPRS). DPR-GR dan MPRS semua anggotanya diangkat oleh Presiden. Sebelumnya Presiden Soekarno pada tanggal  4 Juni 1960 membubarkan DPR hasil pemilu 1955.

5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, sebuah keputusan  presiden untuk membubarkan konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945.

Berdasarkan Dekrit Presiden dan kembali ke UUD 1945 itu, tidak ada pemilihan. Keanggotaan DPR GR dan MPRS diangkat langsung oleh Presiden. Itu tidak bertentangan dengan UUD 1945, ketika itu. Karena UUD 1945 tidak ada memuat klausaltentang tata cara memilih anggota  DPR dan MPR.

Namun konsekuensi pengkatan itu terkooptasinya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR adalah sejajar dengan presiden.  Di tahun 1963 ini, MPRS yang anggotanya diangkat Presiden menetapkan Soekarno (orang yang mengangkatnya) sebagai presiden seumur hidup

Sampai akhirnya Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui sidang istimewa bulan Maret 1967 (ketetapan XXXIV/MPRS/1967), setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial paska kudeta G 30 S/PKI yang gagal, semakin luas).

Situasi perpolitikan nasional itu terkait dengan perpolitikan di daerah, terutama dalam dinamika pembentukan DPRD GR di daerah-daerah termasuk  di Kaltim, khususnya di Samarinda. 

Setelah Pemilu pertama tahun 1955, Pemilu berikutnya semakin berlarut-larut. Ketika Soekarno diberhentikan MPRS tahun 1967, dan mengangkat Jenderal Soeharto menjadi pejabat presiden, Pemilu tidak secepatnya dillaksanakan.  Ketetapan MPRS XI tahun 1966,  yang mengamanatkan Pemilu bisa diselenggarakan tahun 1968 tidak terlaksana.. Kemudian pada SI MPR 1978 Pemilu akhirnya ditetapkan tahun 1971.

Sebagai pejabat Presiden, Soeharto tetap menggunakan MPRS dan DPR GR bentukan Soekarno. Hanya saja Soeharto melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau orde lama.

Praktetknya Pemilu ke 2 baru dilaksanakan tanggal 5 Juli 1971. Artinya, setelah 4 tahun Soeharto di kursi kepresidenan. UU yang diadakan adalah UU tentang Pemilu dan susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD.

Setelah tahun 1971, pelaksanaan pemilu secara periodik dan teratur mulai terlaksana. sk-003

BACA JUGA :

 

Related Post