Kapan Indonesia Merdeka dari Islamofobia?

Minggu, 26 Agustus 2018 | 7:33 am | 506 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
                                                                     

 

Foto: Kapan Indonesia merdeka dari Islamofobia?

Ditulis oleh: Beggy Rizkiansyah, anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

www.suarakaltim.com – “Kirim aja ke Afghanistan!” begitu kurang lebih salah satu komentar warganet di media sosial, setelah melihat video parade 17-an Anak Taman Kanak-Kanak di Probolinggo yang menghebohkan baru-baru ini.

Jemari warganet secepat kilat menghakimi parade 17-an anak-anak Taman Kanak-Kanak di Probolinggo.Imajinasi mereka melampaui nalarnya. Caci maki, radikalisme, teroris, menjadi vonis keji bagi anak-anak TK tak berdosa tersebut. Mereka dihakimi massa tanpa diberi kesempatan membela diri. Isu pun bergulir cepat. Media online membantu menyebarkan histeria massa.

Media massa turut ‘merayakan’ peristiwa ini sebagai batu loncatan mengusung tema radikalismeThe Straits Times bahkan tanpa ampun mengaitkan parade anak TK tersebut dengan ISIS. Bukan hanya massa awam dan pers saja, intelektual pun latah-latahan mengumbar (imajinasi) radikalisme. Sebuah artikel di Indonesia at Melbourne, blog kajian Indonesia dari Unversity of Melbourne, ikut tenggelam dalam imajinasi ini. Artikel tersebut secara serampangan menjadikan kasus parade anak-anak TK tersebut sebagai infiltrasi radikalisme dan salafisme di Indonesia.

Kita semua tahu, igauan intelektual tadi tak perlu terjadi jika ia tak mencampurkan imajinasi ke dalam tulisannya. Video utuh parade TK tersebut justru memperlihatkan konsep lugu dari parade tersebut. Mereka mencoba meneladani perjuangan Rasulullah SAW. Konsep ini kemudian disimbolkan dengan arak-arakan raja dan ratu yang dikawal oleh para pengawalnya. Siapapun tahu takada ‘salafisme’ apalagi ‘teroris’ yang mengusung tema kerajaan. Tak ada ajaran ‘salafisme’ yang mengagungkan bendera, raja dan ratu yang diarak dalam pawai.

Rombongan TK Kartika V 69 dalam Pawai Budaya di Probolinggo saat memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus 2018.

Demikianlah masyarakat kita kini berjalan di atas lajur histeria massal radikalisme. Di sana-sini dikoarkan tentang radikalisme, garis keras, intoleransi dan ekstrimisme Islam. Seakan-akan Indonesia sedang berada di bibir jurang perang agama. Padahal survei Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2017 menyatakan skor kerukunan umat beragama sebesar 72,27. Skor yang menunjukkan sikap di Indonesia tergolong rukun.

Situasi ekstrem justru tampak nyata dari ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Menduduki peringkat negara dengan tingkat ketimpangan terbesar ke-empat di dunia, berlalu begitu saja dari benak kita. Di lain sisi histeria massal terhadap peristiwa parade TK tersebut menandakan masyarakat kita yang semakin tenggelam dalam laku Islamofobia.

Penghakiman massal terhadap anak-anak TK tersebut menjadi kasus Islamofobia yang kesekian kalinya. Beberapa tahun yang lalu terjadi kasus monsterisasi terhadap bendera yang bertuliskan kalimat tauhid serta kriminalisasi terhadap pembawa bendera tersebut. Paranoia yang mengaitkan bendera kalimat tauhid dengan radikalisme menjadi pemicu sikap Islamofobia tersebut.

Sikap Islamofobia lain juga terjadi ketika merespon aksi umat Islam 2 Desember 2016 yang memprotes penistaan agama oleh Ahok. Aksi damai dan simpatik yang dikenal dengan aksi 212 tersebut dituduh sebagian pihak sebagai pertanda menguatnya intoleransi di Indonesia.

 
 

Ketiga peristiwa di atas memiliki benang merah yang sama. Ketakutan terhadap Islam yang tak berdasar dan sekedar berpijak pada imajinasi semata. Oxford Living Dictionary mengartikan Islamofobia sebagai “dislike of or prejudice against Islam or Muslims, especially as a political force.” Definisi seperti ini setidaknya perlu dikembangkan lagi. Menurut Khaled A. Beydoun dalam Rethinking Islamofobia, makna Islamofobia perlu diredifinisikan lagi.

Menurutnya, “Islamofobia lebih dari sekedar “ketakutan atau kebencian kepada muslim,” atau “ketakutan atau ketidaksukaan” terhadap kepercayaan dan pengikutnya, dan definisi yang berlaku ini condong untuk mengukuhkan secara eksplisit atau kebencian yang irasional, dan seringkali, aktivitas dari pelaku pribadi.” (Khaled A. Beydoun: 2018)

Islamofobia (ilustrasi)

Islamofobia (ilustrasi)

Sebaliknya menurut Beydoun, peran negara dan jaringan agensi dan agen, pertukraran dan interaksi yang cair antara negara dan kebijakannya, sangat penting untuk memahami Islamofobia. Beydoun menambahkan bahwa Islamofobia juga dalam bentuk hukum, yang muncul dalam bentuk kalimat yang mendiskriminasi, yang dilegalisasikan oleh negara yang menegaskan pesan bahwa identitas muslim adalah ancaman teror dan Islam adalah peradaban gagal yang harus ditentang dalam berhadapan dengan negara.(Khaled A. Beydoun: 2018)

Islamofobia dan Cara Pandang Barat

Akar dari Islamofobia harus kita tarik kembali ke orientalisme. Satu cara pandang dari produk kolonialisme yang kemudian beranak-pinak dan melahirkan Islamofobia. Beydoun menyebut orientalisme sebagai induk dari Islamofobia.

Orientalisme hidup dari imajinasi dan fantasi Barat terhadap Timur (orient)termasuk di dalamnya Islam. Orientalisme hidup dari imajinasi bahwa Islam adalah barbar, orang-orang kasar, tak beradab. Kehidupan yang gila seks, erotik dan semacamnya. Imajinasi semacam ini lekat dalam pandangan barat terhadap orang-orang Islam di masa lalu.

Cara pandang (dengan prasangka) seperti ini dikekalkan, dilestarikan dan ditularkan secara sistematis. Edward Said menyebutkan bahwa,

“Oleh sebab itu orientalisme dapat dianggap sebagai perilaku yang membakukan (atau mengorientalisasikan) tulisan, pandangan, dan kajian, yang didominasi perintah, perspektif, dan bias ideologi seakan-akan sesuai dengan timur (orient). Timur diajarkan, diteliti kembali, dan dikelola dan diucapkan dengan cara tertentu yang menyimpang.” (Edward Said: 1979)

Maka wajar, orientalisme hidup lestari dalam alam kolonialisme. Bergan dengan tangan antara orientalis dan aparatur penjajah. Pandangan tentang Timur ini bukan saja dipercaya oleh orang Barat, tetapi juga disajikan kepada orang Timur. Maka Timur yang muncul dalam orientalisme adalah sistem representasi yang dibingkai dengan satu kekuatan yang dibawa oleh pembelajaran barat, kesadaran barat dan kemudian kekuasaan (empire) barat. (Edward Said: 1979)

Di Indonesia, orientalisme muncul dalam figur agen-agen kolonial, salah satunya adalah Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje yang terlihat ‘simpatik’ terhadap Islam pada aspek ritual, memiliki wajah bengis terhadap politik Islam. Ia menjadi arsitek kebijakan pemerintah kolonial Belanda berlandaskan imajinasi Snouck Hurgronje yang membayangkan Islam tanpa aspek politik.

Christian Snouck Hurgronje

Imajinasi-imajinasi ini yang kemudian terbayang dalam benak perilaku Islamofobia di masa kini. Jika dulu mereka membayangkan wanita Islam dalam bayangan eksotisme, kini muslimah yang bercadar dibayangkan sebagai representasi dari kekerasan, ketertindasan, dan teror. Maka tak heran, imajinasi mereka bergerak liar ketika melihat anak-anak TK dipakaikan kostum bercadar. Seketika mereka berkhayalakan simbol teror, kekerasan dan ekstrimisme. Padahal anak-anak TK tersebut hanya memakai properti lama yang tersedia.

Apakah sebuah ironi ketika Islamofobia terjadi di negeri dengan penduduk mayoritas Muslim? Bisa saja. Namun jika merujuk pada pendapat Beydoun, Islamphobia kini dapat menjangkiti siapa pun, entah ia non-muslim atau muslim. Beydoun mengupas tiga dimensi Islamofobia di masa kini. (Khaled A. Beydoun: 2018)

Pertama dimensi privat Islamofobia. Ketakutan, kecurigaan dan kekerasan yang menargetkan muslim oleh pelaku pribadi (private actors). Pelaku ini bisa individu, atau institusi yang berlaku dalam kapasitas tak terkait oleh negara. Persekusi mahasiswi bercadar di kampus-kampus beberapa waktu lalu dapat kita jadikan contoh Islamofobia dimensi pertama ini. (Khaled A. Beydoun: 2018)

Kedua, Islamofobia struktural. Dimensi kedua ini adalah ketakutan dan kecurigaan terhadap muslim dari insitusi pemerintah. Menurut Beydoun ketakutan dan kecurigaan ini termanifestasi dan diterapkan oleh agen pemerintah. Beydoun mencontohkan aturan US Patriot Act atau Countering Violent Extrimism, dan retorika anti-muslim oleh Donald Trump sebagai contoh Islamofobia dimensi ini. Di sini, kita dapat melihat extra-judicial killing (pembunuhan tanpa proses peradilan) atas nama kontra-terorisme menjadi contoh Islamofobia dimensi kedua ini. (Khaled A. Beydoun: 2018)

Kampanye melawan program Prevent Violent Extremism (PVE) di Inggris yang dimotori oleh National Union of Students.

Ketiga, dialektika Islamofobia adalah proses yang membentuk Islamofobia struktural. Dialektika ini membentuk dan mendorong pandangan atau sikap dengan Islam dan muslim sebagai subyeknya. Tindakan negara menjadi legitimasi atas miskonsepi dan misrepresentasi terhadap Islam. Hukum bukan sekedar kebijakan, tetapi menjadi pesan yang ditujukan dan disebarkan kepada masyarakat yang lebih luas, menginstruksikan pada mereka untuk ikut andil dalam kebijakan, menghukum dan mempersekusi muslm. (Khaled A. Beydoun: 2018)

Ketiga dimensi tadi patut dicermati kehadirannya di Indonesia. Dan justru menjadi ironi ketika terjadi di negeri yang merdeka dari penjajahan. Sayangnya, warisan penjajahan berupa orientalisme, kini menjelma menjadi sesuatu yang lebih menakutkan; Islamofobia.

Dan persis di momen perayaan kemerdekaan, anak-anak TK yang tak berdaya menjadi korban Islamofobia oleh bangsa sendiri, bangsa di mana kemerdekaan ditopang oleh perjuangan Umat Islam. Jika demikian, apakah sejatinya kita telah merdeka? Merdeka dari kebodohan, ketimpangan dan termasuk merdeka dari mental warisan penjajah di masa lalu yang kerap mencurigai Islam dan pengikutnya?

 

Related Post