SASTRA BORNEO

                                                                     
Mengenal R. Hamzah Dua, Sastrawan, Komikus dan Ilustrator Malaysia Asal Sabah Dan Dua Puisinya

BACA PULA : Cerpen R Hamzah Dua : SEORANG SENIMAN DAN SEBUAH KAMAR SEPI PUISI BUAT SAHABAT Oleh R Hamzah Dua Sahabat Jangan kau hiris kulit bangsamu Dengan belati amarah berbaur dendam kesumat Kelak kau juga akan berasa pedih dek luka itu Sahabat Jangan kau noda kesucian bangsamu Dengan rakus emosi berbaur benci terlampau Kelak kau juga

Cerpen R Hamzah Dua : SEORANG SENIMAN DAN SEBUAH KAMAR SEPI

Sedikit Pengantar :  Bagi saya, R. Hamzah Dua adalah sastrawan Malaysia asal Sabah yang serba bisa.  Banyak menghasilkan karya sastra seperti novel, cerpen, naskah drama, lalu puisi.  Karya novelnya pun bermacam-macam, novel anak-anak- remaja dan dewasa. Naskah dramanya dipentaskan di panggung-panggung, disiarkan melalui radio dan televisi.  Kenapa saya katakan serba bisa, dia juga seorang pelukis.

Achmad Dahlan, Bupati Kutai yang Juga sastrawan, Ini Puisinya

oleh : Akhmad Zailani   BACA JUGA :  Menikmati 6 Puisi Karya Kadrie Oening SuaraKaltim.com– Dalam sejarahnya, di Kaltim  selain sebagai seorang birokrat,  ada kepala daerah yang  juga seorang sastrawan. Mereka yaitu Kadrie Oening, Walikota Samarinda dan Achmad Dahlan, Bupati Kutai. Mereka termasuk sastrawan Indonesia asal Kaltim. Mereka membuat karya sastra. Kadrie Oening lahir 15 Februari 1923 – meninggal 8 Juni 1989 menjabat

JINGGA cerpen : TRY LESTARY SOEMARIYONO

  SEMBILAN bulan yang lalu Va, masih berkeliaran di jalan selepas senja. Senyum tipisnya sanggup menghentikan langkah lelaki manapun . Mengajaknya berbincang, pergi dan kemudian bercinta. Semakin malam, kawasan tepian yang menyajikan jagung bakar manis, kopi susu kental dan tebaran wajah ranum tak menyurutkan gairah cinta semalam. Va yang suka berpakaian hitam, akan tenggelam dalam

Menikmati 6 Puisi Karya Kadrie Oening

Kadrie Oening bersama istri. Foto istimewa   1. AKU KEKASIHMU   Jikalau aku kuasa kuingin kembali ke awal dunia sampai mengenal yang mulia agar lepas dari siksa neraka   Kuhadap wajahku kupandang wajahmu kulepas penengaranku kudengar suara kalammu   Betapa semula daku meninggalkanmu tapi demi kasihmu kurasakan selalu pandanganmu     kurasakan dikau menjelajah tubuhku

Aku Membunuhnya Karena Aku Sangat Mencintainya (cerpen : Akhmad Zailani)

Cerpen Rp 3.500 ”Cerpen ini sudah lama. Dibuat sekitar tahun 1990-an. Saat masih produktif menulis cerpen.Cerpen ini pernah dimuat di surat kabar harian Manuntung atau sekarang Kaltim Post,”kata Akhmad Zailani, ketika ditemui di cafe sebuah hotel. Zailani mengenang, di tahun 1990-an itu honor tulisan termasuk cerpen di koran Manuntung Rp. 3.500 per tulisan.  ”Dikirim via wesel

Mengenal Riatry Lestari , Eks Penyiar Pro 2 RRI Samarinda Melalui Cerpennya

RIATRY Lestari. Tapi dia lebih suka mencantumkan Try lestari Soemariyono pada setiap karyanya dalam menulis, baik itu puisi, cerpen atau essai. Memulai menulis sejak SD, namun publikasi pertama karyanya berupa cerpen ditampilkan dalam majalah dinding ketika ia duduk di bangku SMP. Kecintaannya pada dunia menulis membawa karya-karyanya muncul di majalah dan harian baik lokal maupun nasional.

ANJING  Cerpen : Mukhransyah

ANJING  itu bukanlah anjing yang bagus. Bulunya yang hitam, sangat kotor dan tipis dengan bekas luka di sana sini. Kaki depannya yang sebelah kiri timpang. Dari bola matanya terpancar paduan ketidakberdayaan dan kebuasan binatang. Aku sudah mengenalnya sebelum aku mengerti sepenuhnya arti kemanusiaan. Sayang aku tak begitu tahu dari mana ia berasal. Ia mulanya selalu

Darkuni dan Salah Satu Cerpennya ; Tamasya Batin

www.suarakaltim.com– H. Darkuni. Atau Kony Fahran, nama samaran dalam dunia sastra.  Atau Julak Ibus, nama lain saat menjadi penyiar radio di Suara Samarinda FM. H. Darkuni lahir di Kalsel 17 Agustus 1960, pindah ke Kaltim pada 1991.  Meninggal dunia 28 Januari 2015 di Samarinda.  Karyanya banyak dimuat di media masa lokal dan nasional pada tahun

cerpen Habolhasan Asyari : TULAH

    RUPANYA aku benar-benar sudah termakan tulah. Bahkan  tulah itu telah memuruk dalam gelimang sial tak bertepi. Kini aku tak bisa menampik, tak mampu mengelak. Tidak bisa keluar dari pusaran ulak yang dahsyat, yang menggulung, yang  terus melindas. Aku pun tengkorop dalam sesal berkepanjangan. Tanpa daya, pasrah. Akhirnya, aku berusaha menganggap semua yang datang